Konsep Matla’ dalam Pandangan Fiqh Dan Ilmu Astronomi

Terjadinya perbedaan mathla’ antar berbagai negeri di belahan bumi ini adalah sesuatu yang dapat dimaklumi. Namun para ‘ulama tersebut berselisih pendapat ketika hilal terlihat di kawasan negeri tertentu; apakah ru’yah tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, ataukah masing-masing negeri berdasarkan ru’yah mereka sendiri.

Sebelum dijelaskan berberapa pendapat para ‘ulama tentang perbedaan mathla’, perlu dielaborasi pemahaman tentang makna kata “mathla’. Mathla’ (مَطْلَعٌ ) dengan harakat fathah pada huruf al-lam, bermakna waktu atau zaman munculnya bulan, bintang, atau matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam surat (هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ( القدر: ٥سَلَام ٌ “Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”[1] Sementara Mathli’ (مَطْلِعٌ ) dengan harakat kasrah pada huruf al-lam, bermakna tempat munculnya bulan, bintang, atau matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti  (حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ (الكهف: ٩٠ “Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah timur)”.[2]

Adapun pendapat para ulama, yaitu pertama pendapat Jumhur ‘ulama, yang termasuk kelompok ini adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Mereka  berpendapat bahwa ru’yah di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri-negeri yang lain, sehingga adanya perbedaan mathla’ tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan ru’yatul hilal. Pendapat ini berdasarkan kepada beberapa hadis.[3] Pendapat kedua adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i dan sejumlah ulama salaf bahwa penentuan awal bulan hijriyah memperhitungkan perbedaan mathla’, sehingga masing-masing negeri penetapan awal bulan didasarkan kepada ru’yatul hilal negerinya sendiri. Pendapat mereka didasarkan pada konteks hadits Abu Hurairah bersifat nisbi (relatif), yaitu ditujukan bagi yang melihat hilal, bila tidak melihatnya maka tidaklah masuk dalam konteks ini. Pendapat ini memiliki sisi pandang dari dalil naqli dan ilmu falaki. Dimana perhitungan waktu dalam setiap harinya berbeda-beda. Baik dalam berbuka maupun ketika shiyam berdasarkan nash dan al-ijma’. Perbedaan mathla’ semacam ini merupakan kesepakatan para ilmuwan dalam bidang astronomi, maka jika sama mathla’nya berlakulah ru’yah negeri tadi (bagi negeri yang bermathla’ sama), bila tidak sama maka tidak berlaku. Demikian pendapat ini didasarkan pada hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah.[4]

Dari elaborasi di atas dapat disimpulkan bahwa dalam wacana fiqh konsep matla’ ini dikenal dua teori , yakni pertama, teori Ittifaq al-Matali’. Menurut teori ini, peristiwa terbit hilal yang dapat dirukyat dari suatu kawasan bumi tertentu mengikat seluruh kawasan bumi lainnya. Teori ini didasarkan pada keumuman hadis yang ditujukan untuk seluruh umat secara umum sehingga apabila salah seorang dari mereka telah merukyat hilal, dibelahan bumi manapun ia berada, maka hasil rukyat tersebut berlaku bagi mereka seluruhnya. Kedua, teori Ikhtilaf al-Matali’ yaitu peristiwa terbit hilal yang dapat dirukyat dari suatu kawasan bumi tertentu hanya berlaku untuk kawasan rukyat itu sendiri dan untuk kawasan lainnya yang berada di sebelah baratnya.  Teori ini didasarkan pada, pertama, riwayat Kuraib yang ditakhrij oleh Muslim, bahwa Ibnu Abbas yang tinggal di Madinah menolak berpegang pada rukyat penduduk Syam kendati telah diitsbat oleh khalifah Mu’awiyah. Kedua, adanya perbedaan terbit dan terbenam matahari dipelbagai kawasan di bumi menyebabkan tidak mungkin seluruh permukaan bumi disamaratakan sebagai satu matla’. Teori-teori tersebut akan dijadikan pisau analisis dalam mengkaji konsep matla’ yang dipakai oleh Nahdlatul Ulama dan Hisbut Tahrir Indonesia.

Sedangkan secara astronomis, konsep matla’[5] adalah batas suatu kawasan  geografis yang mengalami terbit hilal di atas ufuk barat sesudah matahari terbenam sehingga semua wilayah dalam kawasan tersebut  memulai awal bulan pada hari yang sama.[6]  Konsep matla’ ini, walau dipersepsi secara jelas, akan tetapi muncul perdebatan dalam penerapannya, apakah terbitnya hilal berlaku bagi seluruh kawasan di belahan bumi ini, ataukah hanya menyangkut satu kawasan tertentu yang dapat melihat terbitnya hilal secara bersamaan.[7]  Karena itu, konsep matla’ ini tidak hanya dapat dikaji secara normatif, menyangkut dasar-dasar al-quran dan hadis sebagai pijakan fiqh, akan tetapi juga dapat dianalisis secara astronomis sebab terbitnya hilal berkaitan dengan sistem peredaran bulan, bumi dan matahari.

Secara astronomis, sistem pergerakan BBM menghendaki berubah-ruhbahnya  keadaan terbit hilal setiap bulan, baik waktu, posisi maupun ketinggiannya.[8] Akibatnya belahan bumi yang pertama kali mengalami terbit hilal senantiasa berganti setiap bulan. Walaupun demikian, pengaplikasian konsep matla’ ini bukan tanpa batas. Batas matla’ dari pusat observasi, yakni dengan memperhitungkan kecepatan gerakan bumi di sekeliling porosnya, kecepatan gerakan bulan mengelilingi bumi dan kecepatan gerakan semu Matahari di sepanjang lingkaran ekliptika.

Pada sistem gerakannya, bumi berputar disekeliling porosnya menurut arah dari barat ke Timur sebanyak satu kali putaran (360 Derajat) dalam waktu 24 jam, sehingga dapat diketahui bahwa kecepatan gerakan bumi dalam 1 jamnya adalah 15 Derajat.  Sedangkan bulan bergerak mengelilingi bumi menurut arah barat ke timur selama satu bulan dalam waktu 27,32 hari (27 hari 7 hari 43 menit).  Masa semacam ini disebut satu bulan sideris. Dengan demikian, kecepatan gerakan bulan setiap hari atau setiap 24 jam adalah 13 Derajat 10 menit 34,89 detik dan setiap jam adalah 0 derajat 32 menit 56,45 detik. Adapun gerakan matahari (dipengaruhi oleh gerakan bumi yang ada disekelilingnya bergerak mengelilingi matahari) bergerak semu diantara bintang-bintang di langit menurut arah dari barat ke timur.  Gerakan semu matahari tersebut dari sebuah titik hingga ke titik itu lagi (satu putaran) berlangsung dalam waktu 365,242199 (365 hari 5 jam 45 menit 46 detik).  Dengan demikian kecepatan gerakan semu matahari setiap hari (24 jam) adalah 0 derajat 59 menit 8,33 detik dan setiap jamnya adalah 0 derajat 2 menit  27,85 detik.[9]

Dari perhitungan di atas dapat dibandingkan bahwa bulan lebih cepat bergerak ke arah timur dari matahari dengan selisih kecepatan sebesar  12 derajat 11 menit 26,56 detik setiap hari atau 0 derajat 30 menit 28,6 detik setiap jam. Jika kecepatan gerakan bulan menjauhi matahari ke arah timur sebesar 0 derajat 30 menit 28,6 detik setiap jam tersebut dinisbatkan dengan kecepatan putaran bumi ke arah timur di sekeliling porosnya sebesar 15 derajat setiap jam, maka ditemukan bahwa gerakan bumi sebesar 1 derajat sama dengan 0 derajat 2 menit 1,91 gerakan bulan. Sebaliknya gerakan bulan  sebesar 1 derajat  sama dengan 29 derajat  31 menit 50,84 menit gerakan bumi.

Dengan demikian berdasarkan realitas di atas, batas matla’ ke arah timur dari markas rukyat dapat dihitung dengan salah satu di antara dua rumus, yaitu;

  1. Derajat irtifa’ hilal dikurangi derajat batas imkan rukyat (visibilitas), dibagi dengan 0 derajat 30 menit 28,6 detik, lalu dikalikan dengan 15.
  2. Derajat irtifa’ hilal dikurangi derajat batas imkan rukyat, lalu dikalikan dengan 29 derajat 31 menit 50,84 detik.[10]

Dari hasil dua rumus di atas, batas matla’ ke arah timur markaz rukyat akan lebih panjang apabila batas imkanur rukyah yang dijadikan patokan lebih kecil dari 2 derajat, atau sebaliknya akan lebih pendek apabila batas imkanur rukyat  yang dijadikan patokan lebih besar dari 2 derajat.

[1] [Al-Qadar : 5]

[2] [Al-Kahf : 90] dan lihat di Al-Mu’jamul Wasith pada maddah طلع

[3]عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ [البخاري] صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا. Lihat  Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1909

[4] Syarh Shohih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi Kitabush Shiyaam bab.5 hadits no. 28-[1087]

[5] Banyak arti kata matla’, yaitu  time of rising atau daerah tempat terbit matahari, fajar atau bulan. Lihat, Hans Wehr, A Dictionary Of Modern Arabic, hlm. 565, Depdikbud, kamus besar bahasa Indonesia, hlm. 1082, dan Hamid Hasan Indeks Terjemah al-Qur’an al-Karim, II:135

[6] Muhtar Salimi, “Rukyat, Hisab, dan Matla’, makalah disampaikan dalam Munas Tarjih ke 25, tanggal 6-7 Juli 2000, hlm. 22

[7] Wahbah az-Zahaily, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, (Beirut; Dar al-Fikr, 1997)II:605

[8] Salam Nawawi, Rukyat Hisab di Kalangan NU-Muhammadiyah, (Surabaya; Diantama, 2004), hlm.104

[9] Ibid., hlm. 106-110

[10] Ibid.

Asli Mandala Gapura Sumenep Madura Jawa Timur, Koordinator Perukyat Wilayah Madura, Pengabdi di IAIN Madura (dulu STAIN Pamekasan) , Mampir Tidur di Pondok Pesantren Mathali'ul Anwar Pangarangan Sumenep, Pernah Nyantri di Asrama MAPK Jember dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bersandar di PMII dan NU, Ta'abbud Safari di RAUDHAH Masjid Nabawi dan Manasik Haji Mekkah (2014), Sekarang Nyantri di UIN Walisongo Semarang

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *