Secara formal, NU menempatkan al-Qur’an di atas teks apapun sebagai sumber hukum dan menenpati posisi yang sangat terhormat dalam wacana keislaman. Keyakinan akan status ini dipercaya oleh semua faksi dan organisasi, apalagi NU. Meskipun beberapa sarjana liberal Islam terkemuka mengkritik kodifikasi al-Qur’an pada masa Usman, akan tetapi mereka sepakat akan keotentikan dan kewahyuan al-Qur’an.
Di samping al-Qur’an, hadispun diterima sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Dalam kognisi publik NU, posisi al-Qur’an dan Hadis ibarat kakak beradik. Karena sifat al-Qur’an yang global dan banyak berisi pesan-pesan ideal-normatif ketimbang respon sosiologis masyarakat arab waktu itu sebagai sebuah dokumen sejarah, maka diperlukan teks yang berfungsi sebagai penjelas ide dan pelengkap informasi yang disampaikan al-Qur’an. Di sinilah peran hadis dianggap sangat dan paling otoritatif dalam menjelaskan dan menafsirkan al-Qur’an. Sehingga hadis pun diyakini dan dianggap sangat urgen dan terhormat dalam wacana keislaman.
Dalam konteks teori istinbat hukum NU, di samping al-Qur’an dan Hadis, kitab kuning juga dijadikan sumber hukum Islam ketiga terutama kitab kuning yang ditulis para ulama klasik-skolastik dan lebih khusus yang terkategori al-kutub al-mu’tabarah.[1] Urutan penggunaan sumber ini hanya bersifat teoritis (di atas kertas saja). Praktiknya, dalam penggalian hukum (termasuk NU Sumenep), NU selalu dimulai dengan penelusuran kitab kuning yang mu’tabar lebih dahulu. Al-Qur’an dan Hadis digunakan hanya sebatas legitimasi teologis atas ide-ide keislaman yang terdapat dalam kitab kuning. Bahkan tidak jarang al-Qur’an dan Hadis ini hanya dijadikan sebagai catatan kaki.
Asumsi tersebut dapat dibenarkan, misalnya dengan adanya tradisi mauquf dalam pelaksanaan bahsul masail NU. Mauquf adalah mekanisme atau cara NU untuk menghentikan atau menunda sejenak suatu masalah hukum Islam karena permasalahan tersebut tidak ditemukan rujukan teks dalam kitab kuning. Bagaimana bisa ada hukum mandeg sementara kasus hukumnya terus berjalan? Relaitas inilah yang menyebabkan NU seringkali diklaim sebagai ormas Islam yang konservatif, taklid buta, tradisional dan semacamnya. Meskipun labeling ini sebetulnya sangat berlebihan karena tidak sedikit masalah-masalah penting yang bisa diselesaikan NU tanpa menimbulkan kontroversi.[2]
Terlepas dari adanya dampak positif-negatif, pembacaan NU atas teks al-Qur’an, Hadis dan Kitab Kuning tidak sesuai antara ide dan fakta. Karena itu pertanyaan yang perlu dibuat sebagai bahan kajian adalah mengapa NU lebih suka mengambil langkah ilhaq al-masail bi nadzairiha dan bukan istinbat al-ahkam min masadiriha al-asliyah?. Walaupun, misalnya, penggunaan kitab kuning tidak keliru, hanya saja yang patut dipersoalkan adalah ketika kitab kuning dipahami apa adanya (taken for granted) tanpa mempelajari latar belakang munculnya teks itu sehingga tidak kehilangan akar kesejarahan dan kontekstualisasi teks tersebut.
[1] Istilah di atas muncul pada forum Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Dianggap mu’tabar karena termasuk kitab-kitab ahlus sunnah dan kitab-kitab yang masih dalam bingkai mazhab empat. Walaupun tidak semua Kyai setuju istilah tersebut karena selain menghindari fanatisme bermazhab dan tidak semuanya bertentangan dengan spirit sunni.
[2] Banyak masalah yang sudah diselesaikan NU seperti System Perbankan, Perpajakan, Asuransi, Ideology Pancasila, Keluarga Berencana dan lain sebagainya.