Tulisan ini meneruskan informasi Hilal Awal Syawal/29 Ramadhan 1445 H/9 April 2024 M oleh Lajnaf Falakiyah PBNU dan ditambahkan data hilal topografis menggunakan perhitungan kitab Irsyadul al-Murid serta Rekomendasi Lokasi Pengamatan Hilal di Indonesia.
Dalam informasi tersebut dinyatakan bahwa rukyah hilal merupakan pengamatan atau observasi terhadap hilal, yaitu lengkungan Bulan sabit paling tipis yang berkedudukan pada ketinggian rendah di atas ufuk barat pasca Matahari terbenam (ghurub) dan bisa diamati. Cara pengamatannya untuk saat ini terbagi menjadi tiga, mulai mengandalkan mata telanjang, mata dibantu alat optik (umumnya teleskop) hingga yang termutakhir alat optik (umumnya teleskop) terhubung sensor / kamera. Dari ketiga cara tersebut maka keterlihatan hilal pun terbagi menjadi tiga pula, mulai dari kasatmata (bil fi’li), kasat teleskop dan kasat kamera.
Terlihat atau tidaknya hilal sangat bergantung pada sejumlah faktor. Mulai dari parameter Bulan sendiri (berupa tinggi atau irtifa’, elongasi dan ketebalan sabit Bulan), parameter optis atmosfer (konsentrasi partikulat pencemar, uap air dan sebagainya) dan seberapa besar sensitivitas mata / sensor kamera. Dalam ilmu falak modern, terlihatnya hilal sebagai lengkungan sabit Bulan sangat tipis adalah produk kombinasi antara kecerlangan Bulan sabit terhadap kecerlangan langit senja latar belakang (syafak) dan perbandingan kontras Bulan sabit–langit senja latar belakang terhadap sensitivitas mata / sensor kamera.
Hilal terlihat jika intensitas cahaya dari Bulan sabit lebih besar dibanding intensitas cahaya senja dan nilai kontras Bulan sabit–syafak lebih besar dibandingkan ambang batas kontras mata atau kamera. Karena warna hilal cenderung putih sementara syafak cenderung merah jingga– 4 kekuningan, maka secara alamiah kontras hilal relatif kecil. Kombinasinya dengan ketinggian yang sangat rendah terhadap ufuk dan pendeknya waktu yang tersedia sebelum Bulan terbenam, maka upaya pengamatan hilal menjadi salah satu tantangan besar bagi ilmu falak.
Lewat observasi modern pula diketahui meskipun kita dapat menetapkan kriteria pembatas bagi terlihatnya hilal yang disebut kriteria visibilitas. Kriteria tersebut mengacu parameter tertentu (misalnya tinggi minimum, elongasi minimum, umur Bulan minimum maupun beda azimuth minimum). Kriteria visibilitas seperti itu merupakan hisab. Namun observasi modern menunjukkan garis pembatas ini tidak kaku sebab memiliki nilai ketidakpastian atau galat1. Maka meskipun parameter Bulan pada suatu kesempatan rukyatul hilal sedikit di bawah dari sebuah kriteria visibilitas, peluang terlihatnya hilal masih tetap terbuka. Hal ini menempatkan kriteria visibilitas sebagai sebuah hipotesis verifikatif yang belum konklusif, meskipun diformulasikan sebagai piranti guna menalar– logiskan hilal sebagai bagian dari Bulan. Tetapi hilal memiliki hukum–hukum alamiahnya sendiri yang bisa lepas dari piranti matematis yang mencoba menghitungnya ketika nilai ketidakpastian diperhitungkan.
Sifat demikian menjadi tantangan tersendiri mengingat syariat Islam membutuhkan batas yang tegas. Seperti tegasnya hitam atau putih, tidak campuran di antara keduanya (menjadi abu–abu). Karena terlihat atau tidaknya hilal menentukan halal dan haram khususnya dalam mengawali dan mengakhiri puasa Ramadhan. Dalam perspektif demikian maka kedudukan rukyah hilal untuk menetapkan awal dan akhir Ramadhan menjadi penting guna mengatasi ketidakpastian. Rukyah hilal digelar dengan mengamati ufuk barat pada arah dimana Matahari dan Bulan berada. Prakiraan waktu terbenamnya Matahari & parameter Bulan disajikan oleh metode falak sebagai pendukung pelaksanaan rukyatul hilal. Lembaga Falakiyah PBNU melaksanakan perhitungan dengan metode falak (sistem hisab) jama’i atau biasa disebut hisab tahqiqy tadqiky ashri kontemporer khas Nahdlatul Ulama bagi seluruh Indonesia. Pun demikian, NU dan Pemerintah sangat memperhatikan berbagai lokasi pengamatan hilal yang tersebar di seluruh Nusantara.
DATA HISAB DAN PREDIKSI AWAL SYAWAL 1445 H
Perhitungan ilmu falak terhadap hilal awal Syawal 1445 H dengan menggunakan metode falak (sistem hisab) jama’i atau tahqiqy tadqiky ashri kontemporer khas Nahdlatul Ulama. Perhitungan dilakukan untuk hari Selasa Legi 29 Ramadhan 1445 H yang bertepatan dengan tanggal 9 April 2024 M Menghasilkan data sebagai berikut:
- Tinggi dan elongsasi hilal tertinggi serta lama bulan terlama berada di Propinsi Aceh (Lhoknga Banda Aceh), yaitu tinggi: 7 derajat 29 menit, elongasi: 10 derajat 19 menit dan lama bulan: 32 menit 47 detik .
- Tinggi dan elongsasi hilal terendah serta lama bulan terpendek berada di Propinsi Papua Selatan (Merauke), yaitu tinggi: 4 derajat 52 menit, elongasi: 08 derajat 30 menit dan lama bulan: 23 menit 19 detik .
- Tinggi dan elongsasi hilal serta lama bulan di Propinsi Jawa Timur (Surabaya), yaitu tinggi: 5 derajat 45 menit, elongasi: 09 derajat 35 menit dan lama bulan: 27 menit 02 detik.
- Tinggi dan elongsasi hilal serta lama bulan di Kabupaten Pamekasan (Observatorium Fasya IAIN Madura) dan Kabupaten Sumenep (Mandala) , yaitu tinggi: 06 derajat 07 menit, elongasi: 09 derajat 42 menit dan lama bulan: 33 menit 0 detik.
Berdasarkan data tersebut di atas, maka diketahui bahwa pada Selasa Legi 29 Ramadhan 1445 H/9 April 2024 M saat terbenam matahari, kedudukan hilal di seluruh Indonesia berada di atas ufuk dan sudah di atas nilai kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama (IRNU). Khusus untuk sebagian besar pulau Sumatera dan sekitarnya (kecuali propinsi Bangka Belitung), kedudukan hilal bahkan sudah di atas nilai kriteria Qath’iy Rukyah Nahdlatul Ulama (QRNU). Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kemungkinan besar Awal Syawal 1445 H akan jatuh pada hari RABU, 10 April 2024. Namun demikian, Kita harus menunggu ketetapan hasil itsbat Kementerian Agama RI.
REKOMENDASI LOKASI PENGAMATAN HILAL DI INDONESIA, KHUSUSNYA DI JAWA DAN MADURA
Dalam pelaksanaan pengamatan hilal, Kementerian Agama RI telah mengakomodasi 105 lokasi di seluruh Indonesia dan pada kegiatan rukyatul hilal Lajnah Falakiyan PBNU melaunching 39 Lokasi Rukyat Hilal seluruh Indonesia. Dari keseluruhan lokasi tersebur, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir pelaporan keberhasil pengamatan hilal didominasi hanya oleh 16 lokasi pengamatan hilal.
Untuk kepentingan menverifikasi lokasi-lokasi tersebut, penelitian tentang lokasi pengamatan hilal ini pernah dilakukan oleh Dr. H. Achmad Mulyadi, M. Ag. pada tahun 2021-2023 dengan mengambil sampel 27 lokasi pengamatan yang tersebar hanya di Jawa-Madura. Hasil penelitian tersebut merekomendasikan beberapa hal berikut:
Pertama, kondisi 27 lokasi pengamatan hilal di Jawa, Madura, secara geografis dan topografis, yaitu 10 lokasi pengamatan hilal terkategori layak ideal karena memenuhi bentangan medan pandang 57.3 derajat dan pandangan lepas ke arah ufuknya, 12 lokasi pengamatan hilal terkategori layak tidak ideal karena walaupun memenuhi bentangan medan pandang 57.3 derajat, akan tetapi ditemukan aspek pengganggu pandangan ke arah ufuknya, dan 5 lokasi pengamatan terkategori tidak layak karena memiliki bentangan medan pandang yang sempit, jarak pandang yang terhalang, dan ditemukan aspek pengganggunya berupa ketinggian tanah daratan, pepohonan, bangunan dan gunung. Namun secara meteorologis, keadaan cuaca lokasi-lokasi tersebut lebih sering berawan, dengan kondisi suhu antara 25-28°C dan kelembaban udara antara 85%-90%, bahkan hujan dengan keadaan suhu kurang dari 25°C dan kelembaban udara di atas 90%. Hal ini terkait dengan lokasi pengamatan hilal di Jawa, Madura yang terletak antara lintang 5°44’07” LS (Pantai Karya Kepulauan Seribu) dan 8°20’28” LS (Bukit Sadeng Jember), antara bujur 106°35’55” BT (Pantai Karya Kepulauan Seribu) dan 114°12’5.16″ BT (Gumuk Klasi Banyuwangi). Lokasi-lokasi tersebut, karena berada dekat ekuator dan banyak mendapat sinar matahari, merupakan tempat proses fisis pembentukan awan, sehingga berpotensi berawan konvektif, di samping awan orografis yang dipicu gunung-gunung yang ada. Walaupun demikian, tetap ada laporan pengamatan yang dapat melihat hilal di beberapa lokasi.
Kedua, tempat pengamatan yang berhasil melihat hilal selama 10 tahun terakhir hanya di 16 lokasi, dengan dominasi dari 5 lokasi, yaitu di Bukit Condrodipo (16 kali), Pelabuhan Ratu (3 kali), Tanjung Kodok (3 kali), Pantai Gebang (2 kali), Jakarta Utara (2 kali), dan 11 lokasi lain (masing-masing 1 kali). Dominasi keberhasilan melihat hilal dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendukung dari aspek geografis, topografis, dan meteorologis: (a) faktor geografis-topografis berupa lokasi pengamatan hilal yang agak tinggi, dengan medan pandang ideal dari azimut 241.35-298.65 derajat, tidak terganggu oleh objek lain berupa permukaan tanah, pepohonan, atau bangunan, memiliki jarak pandang antara 10-25 km, serta memiliki nilai polusi cahaya sedang; (b) faktor meteorologis berupa kondisi cuaca cerah, dengan suhu udara antara 27.1°-29.5°C dan kelembaban 71-85%; dan (c) faktor non-alam yang turut mendukung keberhasilan melihat hilal adalah kekompakan dan kapabilitas tim perukyat serta dukungan kelengkapan peralatan yang dipergunakan dalam proses pengamatan.
Pada momentun pengamatan hilal awal syawal 1445 H, lokasi-lokasi tersebut akan terverifikasi faktualnya, lokasi manakah yang akan menyumbangkan ketampakan hilal sore nanti, yang dapat memberikan pelaporan kepada Lajnah Falakiyah PBNU dan Sidang Itsbat Kementerian Agama RI. Wallahu a’lamu.