Dalam al-Qur’an, terdapat ayat yang cara membacanya tidak biasa. Bacaan ini disebut dengan bacaan gharib (qiraah gharibah), yakni ayat-ayat yang asing, tersembunyi atau samar. Menurut istilah ulama qurra’, gharib memiliki arti sesuatu yang perlu penjelasan khusus karena pembahasannya yang samar.
Bacaan-bacaan al-Quran yang dianggap gharib dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs, antara lain adalah Imalah, Isymam, Saktah, Tashil, dan Naql. Karena bacaan-bacaan tersebut tidak biasa, penting bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari tata cara bacaannya agar terhindar dari kekhawatiran salah dalam membaca al-Quran.
Diantara jenis bacaan gharib adalah Imalah. Imalah artinya memiringkan atau condong. Sedangkan menurut istilah, Imalah artinya memiringkan bacaan fathah ke arah bacaan kasrah atau memiringkan bacaan alif ke arah ya. Bacaan Imalah ini hanya ada satu dalam Al-Qur’an, yaitu pada surat Hud ayat 41. Pada pertengahan ayat tersebut, terdapat lafadz “majroha” yang harus dibaca menjadi “majreha”.
MENGAPA HARUS DIBACA IMALAH?
Pendekatan Tafsir:
Salah satu kisah Nabi Nuh AS dan perahunya terdapat dalam surat Hud:41. Dalam ayat tersebut terdapat kata majréha (berlayarnya bahtera). Menurut ulama qurra’, dalam riwayat Imam Hafsh dari Imam Ashim kata majréha tersebut harus dibaca imalah (miring: antara fathah dan kasroh). Mengapa?
Menurut para ilmu tafsir ada makna yang berbeda antara pembacaan secara imalah dan tidak. Untuk itu, sebab-sebab di-Imalahkannya lafaz “مَجْرٰىهَا” diantaranya adalah untuk membedakan antara lafadz “مَجْرٰىهَا” yang artinya berjalan di darat dengan lafadz “مَجْرٰىهَا” yang bermakna berjalan di laut.
Apabila dirunut pada arti kosa katanya, dalam salah satu kamus bahasa arab dijelaskan bahwa lafadz “مَجْرٰىهَا” berasal dari lafadz “جَرٰى” yang artinya berjalan atau mengalir dan lafadz tersebut dapat dipakai dalam arti berjalan di atas daratan maupun berjalan di atas lautan (air), namun kecenderungan perjalanan di permukaan laut (air) tidak stabil seperti halnya di daratan, kadangkala diterjang ombak kecil dan besar atau terhempas angin, sehingga sangat tepat apabila lafadz “مَجْرٰىهَا” tersebut di-Imalahkan
Dalam kitab mausuah al i’jaz al ‘ilmi (Insiklopedi Mu’jizat al-Quran Ilmiah) dipaparkan bahwa para ulama berpendapat bahwa membaca imalah pada lafadz majréha terdapat hikmah dan petunjuk yaitu agar qari’ (pembaca) saat membaca imalah juga merasakan bagaimana miringnya bahtera nabi Nuh saat berlayar diantara ombak-ombak yang besar.
وَقَالَ ارْكَبُوا فِيهَا بِسْمِ اللَّـهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا ۚإِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan Nuh berkata “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya (perahu) dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Hud: 41)
Dapat kita bayangkan bahwa banjir besar dalam riwayat Nabi Nuh AS ini tentu bukanlah banjir biasa. Al-Qur’an menyatakan gelombang banjir besar itu menggunung dan mampu mengangkat bahtera itu sampai ke puncak Gunung Judi yang tingginya sekitar 2000 meter di atas permukaan laut seperti diabadikan dalam Surat Hud ayat 42.
Namun perlu diketahui bahwa diantara para ulama yang membaca imalah pada lafadz majréha hanyalah qiraah riwayat imam Hafsh dari Imam Ashim dan mayoritas di Indonesia membacanya dengan imalah, sedangkan qiraah yang lain membaca seperti biasa (tidak imalah).
PESAN & PETUNJUK:
Surat Hud ayat 41 dan 42 ini menjadi petunjuk bagi kita agar kita, pertama, keharusan tawakkal pada Allah Swt. saat kita melakukan aktifitas seraya berbaik sangka kepada-Nya bahwa Allah akan menyelamatkan kita, kedua, orang-orang yang akan selamat adalah mereka yang menerima ajarannya dan mengamalkannya (hanya orang yang beriman yang mampu menerima hidayah dan taufiq masuk ke kapal bersama Nabi Nuh AS. Dan atas petunjuk inilah kemudian terdapat para ulama yang menganjurkan membaca surat Hud 41 saat berlayar, bertawakkal dan seraya mengharap keselamatan dalam mengarungi lautan. Wallahu al’lamu bishawabin.
Syukron, semoga bermanfaat.
AMY, Mandala 25 April 2021/13 Ramadhan 1442 H