
Kali ini mengaji (yang diasuh oleh KH. Achmad Mulyadi, M. Ag.) tentang ibadah antara terbit dan tergelincir matahari dalam kitab Muraqil Ubudiyah.
Dalam teks kitab Bidayatul Hidayah dan Syarahnya “Muraqil budiyah” tertulis bahwa “apabila matahari telah terbit dan posisi ketinggiannya telah mencapai satu tombak, maka hendaklah melaksanak salat dua rakaat. Salat tersebut dilakukan sesudah hilangnya masa yang dimakruhkan, yakni waktu antara subuh sampai matahari telah meninggi (dalam perjalanan edarnya). Apabila suasananya mulai agak siang dan telah berlalu seperempat (edar)nya, maka laksanakanlah salat dhuha sebanyak empat, enam atau delapan raka’at, dengan cara setiap dua raka’at salam (dua raka’at dua raka’at). Jumlan bilangan raka’at salat seperti ini berdasarkan riwayat dari Rasulullah Saw, “Semua ibadah salat itu baik, maka menjadi keluasan bagi masing-masing bagi siapa saja yang akan melakukannya dalam jumlah raka’at banyak atau sedikit”. Antara terbit matahari hingga tergelincirnya tidak terdapat anjuran salat apapun kecuali salat duha. Dalam kajian ilmu astronomi Islam, 1 tombak tersebut setara dengan 4 Derajat. Jika 1 derajat berharga 4 menit, maka waktu duha adalah 16 menit setelah terbit matahari.
Setelah salat duha, sisa waktu sampai tergelincir matahari, hendaklah dimanfataatkan untuk salah satu diantara empat perkara dibawah ini.
Pertama, mencari ilmu yang bermanfaat, bukan ilmu yang biasa dicari oleh orang pada umumnya, seperti pada zaman sekarang ini. Ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang bisa meningkatkan ketakwaan (khauf) kepada Allah SWT, menambah kepekaan kita terhadap kekurangan diri, menambah pengetahuan kita dalam hal ibadah, mengurangi kecintaan terhadap hal-hal duniawi, meningkatkan kerinduan kepada kehidupan akhirat, membuka kesadaran akan akibat perbuatan-perbuatan yang dilakukan sehingga dapat menjaga diri dari efek tersebut, dapat menambah pengetahuan tentang tipu daya dan bujuk rayuan syetan. Kehalusan rayuan syetan terhadap orang-orang yang berilmu agama Islam mengakibatkan mereka menjadi sasaran kemurkaan Allah. Mereka telah membeli kemewahan dunia dengan agama dan menjadikan ilmunya sebagai alat mengeruk kekayaan para penguasa, menggelapkan barang-barang waqaf, harta milik anak yatim dan fakir miskin. Mereka akan menghabiskan waktunya disepanjang hari untuk usaha mencari kehormatan, kedudukan dan simpati dari orang-orang banyak. Hal itulah yang kemudian mendorong mereka berbuat riya’ dan memperlihatnkan kehebatan masing-masing.
Terjemahan versi teks kita bidayah al-Hidayah asli, yakni “mengenai ilmu manfaat itu, telah kami uraikan didalam kitab Ihya’ ulumuddin. Apabila engkau ingin menjadi golongan orang yang berilmu manfaat, maka berusahalah menuntutnya dan mengamalkannya, kemudian ajarkan kepada orang lain serta anjurkanlah mereka untuk mencari ilmu dan mengamalkannya. Barang siapa mengetahui ilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya, kemudian mengajarkan kepada orang lain dan menganjurkan mereka menuntutnya, maka orang tersebut terkategori orang mulya, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Isa AS (Syarh Muraqil Ubudiyah). Apabila engkau telah selesai mencari ilmu pokok atau ilmu yang bermanfaat dan selesai memperbaiki dirimu dzahir dan batin, ternyata masih ada waktu senggang, maka pergunakanlah untuk mencari ilmu perbandingan madzhab fiqih, agar engkau mengetahui masalah-masalah furu’ dan dapat mengambil solusi jalan tengah dalam menghadapi persoalan-persoalan yang dipertentangkan oleh orang banyak karena dikuasi oleh hawa nafsu atau kepentingan-kepentingan pribadi mereka. Mempelajari ilmu yang demikian ini, sesudah mempelajari ilmu-ilmu pokok, termasuk fardlu kifayah”.
teks selanjutnya” “apabila hatimu mendorong untuk meninggalkan wiridan-wiridan dan dzikir-dzikir tersebut di atas dan lebih cenderung mengkaji ilmu-ilmu perbandingan madzhab tersebut, maka sadarlah engkau, bahwa syetan telah benar-benar menaburkan penyakit berbahaya dalam hatimu. Penyakit ini adalah cinta kehormatan dan harta. Maka, berhati-hatilah engkau terhadap tipu daya syetan, yang bisa menyebabkan engkau menjadi bahan tertawaan syetan, kemudian membinasakan dan mengejekmu. Apabila engkau telah melatih dirimu pada suatu saat, untuk mengamalkan beberapa wirid dan beberapa ibadah, sedangkan engkau tidak merasa berat, dan tidak merasa malas, bahkan muncul keinginan mencari ilmu yang bermanfaat dengan niat semata-mata karena Allah Swt. dan kebahagiaan di akhirat, maka mencari ilmu ketika itu lebih baik, lebih utama dari pada melaksanakan ibadah-ibadah sunah selama niatnya baik. Karena amal perbuatan itu diterima atau tidak oleh Allah tergantung niatnya, apabila niat mencari ilmu itu tidak tulus, maka disitulah syetan akan mempedayakan dan pelakunya termasuk orang-orang yang bodoh, sekalipun mereka bergelar sarjana”. Wallahu a’lam bis-Sawab.