
Capaian tertinggi bagi seorang akademisi dalam menapaki proses pendidikan adalah jenjang pendidikan doktor (doctoral education). Begitu masuk pada jenjang tersebut, seseorang layak dipanggil calon doktor. Tidak sedikit mahasiswa calon doktor ini yang berakhir dengan kegagalan alias calon doktor abadi, namun mayoritas mereka bisa menyelesaikannya sampai orang yang mendapat predikat doktor.

Kunci utama seorang calon doktor dapat menyelesaikan pendidikannya adalah karya tulis disertasinya benar-benar mewujud. Saat disertasinya sudah disetujui oleh Promotor dan Copromotornya, maka tahap yang harus dilalui adalah karyanya tersebut diuji secara tertutup.
Pada kesempatan tertutup itulah, karya tulis disertasinya dianggap selesai dengan proses penyempurnaan. Penyempurnaan ini menjadi keniscayaan, mengapa?. Nalarnya sederhana, bahwa tulisan disertasi yang diuji secara tertutup itu dihasilkan oleh proses bimbingan dua dosen yakni Pembimbing utama dan pembimbing pembantu, sementara dalam momentum ujian tertutup ditelaah oleh minimal 6 penguji. Nalar ini menjadi logis bahwa perbaikan menjadi keniscayaan, karena itu, butuh beberapa lama untuk merevisinya. Maka, bijak bila seorang calon doktor menyiapkan waktu untuk penyempurnaan.

Pengesahan revisi ujian tertutup menjadi kunci utama digelarnya ujian terbuka. Pada ujian tahap akhir ini, penulis disertasi disebut Promovendus. Ujian ini merupakan momentum promosi si pemilik disertasi pada masyarakat luas dengan disaksikan oleh keluarga besarnya dan lembaga tempat pengabdiannya, serta kolega dan intitusi yang keilmuannya diharap manfaatnya. Sidang Promosi Disertasi, yang saya ikut berkontribusi di Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, adalah disertasi yang berjudul: Dilema dan Solusi Hilal Imkanurrukyat Yang Tidak Terlihat Pada Sidang Itsbat Kemenag RI. Disertasi ini ditulis oleh Dr. Hudi, M. Si. Selamat semoga manfaat dunia akhir. Amin.