SANG “IBADURRAHMAN”

Saripati surat al-Furqan ayat 63-64.

Ayat ini menyebut hamba Allah dengan penyebutan sifatNya, yakni ar-Rahman. Kenapa demikian?

Pertama, kita pahami dulu maksud sifat ar-Rahman. Ar-Rahman dalam kaidah bahasa berwazan fa’lan, biasanya menunjukkan kepada kesempurnaan dan kesementaraan. Sehingga Syekh Muhammad Abduh memaknai bahwa Allah adalah pencurah kasih sayang yang sempurna akan tetapi sifatnya sementara (dunia saja), dan berlaku untuk semua makhluknya. Dan perlu dibedakan dengan sifat Allah ar-Rahim (berwazan fa’ill) yang biasanya berpatron kemantapan dan kesinambungan.

Kedua, penyandingan ibad dengan sifat Allah, ar-Rahman dimaksudkan sebagai pemberian ciri kepribadian hambanya yang mencurahkan kasih saya kepada sesama dan makhluk lainnya di dunia.

Siapakah mereka?

Pertama, mereka yang “berjalan” di bumi dengan (haunan) lemah lembut, tidak angkuh dan tidak kasar serta menebarkan keselamatan.

Dalam ayat 63, terdapat 4 kata kunci yang dapat kita pahami, yakni kata ‘yamsyuna, haunan, jahilun, dan salaman’.

Kata ‘yamsyuna’ dapat dipahami dengan makna  tidak hanya sekedar berjalan di bumi, akan tetapi mengandung makna secara umum, yakni menyangkut interaksi antar manusia yang harus dilakukan. Interaksi ini harus dijalankan dengan cara ‘haunan’, yakni lemah lembut, bermoral dan beretika, jauh dari sifat sombong, keras dan  egois.

Dalam interaksi ini, manusia sudah pasti berhadapan dengan berbagai ragam karakternya. Ayat ini menfokuskan cara berkomunikasi terhadap mereka yang terkategori ‘jahilun’, terutama komunikasi berbicara dan berdialog.

Kata ‘jahil’ oleh para mufassir dimaknai bukan hanya bodoh secara tekstual (tidak berilmu)  akan tetapi dapat juga bermakna secara kontekstual, yakni mereka yang kehilangan kontrol karena hawa nafsu, kepentingan sementara dan kepicikan pandangan serta pengabaian nilai-nilai ajaran Islam.

Dalam berhadapan dengan mereka ‘jahilun’, ayat ini menganjurkan kita untuk mengatakan ‘salaman’. Kata ‘salaman’ bermakna keselamatan, yakni ucapan penolakan yang tidak menyakiti perasaan.  Beberapa mufassir, memaknainya dengan ucapan salam perpisahan untuk menghindar dari interaksi dengan si jahil.

Kedua, mereka yang menjalani malamnya dengan sujud dan mendirikan salat.

Ayat 64 ini menyebutkan kata kunci “yabiitun” yang bermakna keberadaan di waktu malam dan kata ‘sujjadan dan qiyaman’. Para mufassir memaknai gabungan kata ‘sujjadan dan qiyaman’ adalah salat, baik salat sunnah bakda isya maupun salat tahajjud. Dengan demikian, makna ayat ini adalah mengisyaratkan membangun relasi manusia dengan Tuhannya. Untuk itu, mereka menjadikan kehidupan malamnya tidak hanya untuk istirahat, akan tetapi untuk komunikasi dengan sang Khaliq tanpa pamrih, yakni salatullail.

Ketiga, Keprihatikan dan rasa takut harus berdampingan dengan harapan dan optimisme.  Perasaan ini tersirat dari ayat 65 dan 66, bahwa permohonan untuk dijauhkan dari api neraka harus ditandai dengan peningkatan amal kebaikan agar selamat dari siksa api neraka yang bersifat membinasakan dan abadi. sekaligus menyadarkan diri bahwa neraka jahannam adalah tempat menetap (sementara), sekaligus menjadi tempat tinggal (selamanya).

Keempat, Dermawan antara berlebih dan kikir sebagai substansi ayat ke 67. Mereka menafkahkan harta tidak melampaui batas kewajaran dan juga tidak sama sama sekali, disesuaikan dengan kondisi pemberi dan penerima. sehingga dapat berpilaku adil, moderat atau pertengahan.

Kelima, Keenam dan Ketujuh: Tidak musyrik, tidak membunuh dan tidak berzina. Isi ayat 68 dan 69 adalah memurnikan tauhid, tidak melakukan penganiayaan dan perzinahan. Ayat ini menggambarkan kondisi keyakinan masyarakat quraisy kepada Allah yang mendua antara di laut dan daratan. Berdoa kepada Allah Swt. hanya apabila mendesak, yakni selama mereka  diterpa bahaya saat berlayar di laut, sementara saat ada di daratan, mereka menyembah agama lainnya. Dalam konteks inilah ayat ini dihadirkan.  Jika seseorang melakukan tiga kejahatan tersebut, maka dia akan mendapatkan balasan dosa dalam waktu yang lama, yaitu “muhanan”- berupa siksa fisik dan siksa kejiwaan yang menyebabkan kepedihan batin yang luar bisa.

Ayat kelanjutannya (70 dan 71) Allah lukiskan dalam kata “taba”, ” ‘amila amalan”. Punulisan ” ‘amalan-masdar” menunjukkan arti kesempurnaan taubat. Petunjuk ini mengisyaratkan perkecualian bahwa pelaku tiga kejahatan tersebut masih dapat kesempatan untuk terbebas dari ancaman siksa, yaitu mereka yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, bahkan dosa-dosanya akan diganti dengan kebajikan. Inilah konteks ayat saat diturunkan yaitu adanya sekelompok orang musyrik quraisy  yang insaf namun telah banyak melakukan zina dan membunuh orang lain. Allah memberikan jaminan kepada mereka untuk dapat ampunan, bahkan kebajikan.

Kedelapan dan kesembilan: Tidak bersaksi palsu dan tidak menanggapi perbuatan atau perkataan yang tidak wajar.

Identitas ini tersirat pada ayat 72. Pertama, “yashadun” berarti bersaksi. Kedua, az-Zur yaitu tempat-tempat yang tidak wajar, tanpak baik tapi hakikatnya tidak. Dua kata ini mengandung pemahaman bahwa bersaksi menyampaikan apa yang dilihat oleh pandangan mata atau diketahui dengan cala ilmiah, bukan keterangan palsu. Ketiga, kata “laghw” berarti sesuatu yang seharusnya ditiadakan atau tidak dilakukan (batal/kesia-sian). Sesuatu yang termasuk kategori ini adalah hal-hal yang mubah, bukan haram atau makruh. Keempat, “kiraman” berarti mulia atau terhormat. Dari dua kata terakhir ini mengisyaratkan bahwa jika kita ternyata berada di tempat-tempat yang tidak wajar, tetaplah menjadi indentitas dirinya sebagai orang terhormat.

Kesepuluh, terbuka dengan peringatan, teguran, nasihat dan kritik membangun, tidak justru tertutup mata dan telinga.

Sifat yang kesepuluh ini tercermin dalam ayat ke 73. Ada tiga kata yang patut diperhatikan dalam ayat ini, yaitu pertama, kata “Dzukkiru” berbentuk pasif yang diartikan dengan diingatkan, dan bermaksud secara langsung pada substansi peringatan dan nasihat, tanpa penyebutan subyek pemberi peringatan. Kedua, “yakhirru” berarti terjatuh, yang diinginkan adalah arti sindirannya yaitu perubahan, Ketiga, “shumman dan ‘umyanan” berarti tuli dan buta. Dengan demikian, identitas kesepuluh adalah memiliki hati terbuka.

Wallahu a’lamu bisshowab.

Bersambung.

Materi ini disampaikan pada Halaqah Syahriyah NU R. Mandala, Minggu kedua- Jumat Malam, 12 Desember 2019, Januari, Pebruari dan Maret 2020.

Bacaan: Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah.

 

 

Asli Mandala Gapura Sumenep Madura Jawa Timur, Koordinator Perukyat Wilayah Madura, Pengabdi di IAIN Madura (dulu STAIN Pamekasan) , Mampir Tidur di Pondok Pesantren Mathali'ul Anwar Pangarangan Sumenep, Pernah Nyantri di Asrama MAPK Jember dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bersandar di PMII dan NU, Ta'abbud Safari di RAUDHAH Masjid Nabawi dan Manasik Haji Mekkah (2014), Sekarang Nyantri di UIN Walisongo Semarang

1 Comments

  1. Pingback: ‘KEMASAN RANUM’: Sebuah Laporan Singkat Akademis – Falakuna

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *