TADABBUR JAGAD RAYA

Di kawasan luas langit, kita diami planet bumi dari keluarga matahari dan ternyata matahari adalah bintang kecil pada galaksi Bimasakti. Jika demikian adanya, maka eksistensi kita di bumi ini tak ubahnya seperti semut yang sangat kecil yang gampang terinjak-injak dan mudah terhempas-hempas. Masihkah ada debu kesombongan dan keserakahan dalam diri ini?

Namun demikian, matahari yang tampak kecil diantara bintang-bintang yang lain masih mampu memberi cahaya pada bumi dan membekali sinar pada rembulan sembari bersembunyi di balik cakrawala. Bagai matahari, kita dapat memgabdikan diri dan menjadi yang terbaik bagi orang lain secara nyata tampak di depan, akan tetapi juga bisa bersembunyi di balik layar.

Cahaya matahari, sebenarnya secara fisik merupakan bahasa universal untuk membaca ayat-ayat kauniyah. Juru bahasanya adalah ilmu astrofisika. Dari sini bisa kita baca, jika matahari tampak warna kuningannya, maka ia bisa dibaca sebagai bintang yang memiliki suhu permukaan berkisar 6000 derajat, tetapi jika ada bintang lain tampak berwarna merah, berarti suhu permukaannya lebih rendah dan jika berwarna biru, maka menunjukkan bintang itu memiliki suhu lebih tinggi dari suhu matahari.

Namun demikian, cahaya juga memiliki bahasa kiasan yang bermakna sangat substansial. Ia berarti petunjuk atau hidayah Allah Swt. Karenanya, sumber cahaya sebenarnya adalah al-Qur’an. Karena itu, bagi kita sebagai hamba, menjadi wajib menyambut hidayah dengan membaca dan menghayati al-Quran serta memgamalkannya. Tidak bisa diingkari, bagi kita yang dapat mengamalkannnya seperti tersembur cahaya dalam raut wajah kita dan karena cahaya itulah kita selalu istiqamah dalam kebenaran dan kesucian.

Sementara itu, dengan cahayanya bintang sebagai penghias malam yang cerah.  Ketika sendiri, bintang seakan tak mempunyai makna, akan tetapi saat terlihat seperti sebuah konstelasi (rasi), maka bintang akan menjadi petunjuk arah dan datangnya musim. Sebut saja rasi orion yang mulai meninggi di ufuk timur saat subuh menjadi pertanda bermulanya musim hujan di Nusantara, rasi salib selatan menjadi tanda arah selatan dan rasi ursa mayor (beruang besar) bisa menjadi petunjuk arah utara.

Ragam cahaya yang menyatu dalam perbedaan disebut pelangi. Pelangi ini terlihat indah. Keindahan pelangi dalam keragaman itu tak ada yang menggugatnya, kenapa? padahal ia adalah hakikat cahaya matahari yang terungkap dalam beragam warna. Namun, pelangi kehidupan kenapa seringkali dipandang sebaliknya, tidak indah dan menyebabkan perpecahan dan permusuhan. (Gapura, 13/05/2019)

Cahayapun dapat kita amati bersinardatang dari gugusan bintang. Namun kita kadangkala salah menebaknya karena belum memahami perbedaan bintang dan isi jagad raya lainnya. Ambil contoh seperti cahaya yang terlihat saat maghrib tiba di langit barat, cemerlang dan cukup tinggi di langit, serta kadang awan tak mampu membendung sinarnya, itulah yang orang menganggapnya sebagai bintang kejora dan – jika muncul saat subuh di langit timur, orang menganggapnya sebagai bintang timur. Banyak kita salah anggap, cahaya itu bukan bintang, akan tetapi planet Venus. Planet ini tidak memunculkan cahaya sendiri, akan tetapi hanya memantulkan cahaya dari pusatnya yaitu Matahari. Karena itu, planet ini disebut saudara kembar bumi. Sebab dekatnya dengan bumi, para perukyat harus hati-hati ketika meneropong bulan, salah-salat bisa jadi yang dirukyanya bukanlah bulan atau cahaya hilal, akan tetapi bagian dari piringan bawah planet Venus.

Cahaya di alam jagad raya ini tidak seluruhnya dapat ditangkap dan dinikmati. Para astronom berupaya menangkap cahaya alam ini dengan detektor yang melekat pada teleskop yang digunakan. Pada saat malam tiba, cerah tak berawan, para astronom merekam cahaya bintang. Cahaya tersebut begitu cemerlang menembus teleskop dan terekam oleh detektor CCD (Charge-Coupled-Device=sebuah sensor perekam gambar). Namun seringkali, upaya itu berjalan sia-sia jika analisis citra menunjukkan keberadaan “ghost-image” (gambar aneh perusak kecerlangan cahaya). Perusak ini adalah titik-titik embun terselubung, walaupun tipis akan tetapi lapisan itu mampu menghilangkan makna cahaya bintang. Coba bayangkan apabila perusak itu adalah debu-debu tebal! Sudah pasti hal itu yang menyebabkan cahaya tidak mungkin masuk ke detektor. Mampukah kita mengambil pelajaran? Ibaratkan saja cahaya itu adalah hidayah dan kalbu merupakan detektornya, maka perusak dan penyebab cahaya itu tidak ditangkap adalah debu-debu tebal yang berupa dosa dan prilaku kemaksiyatan.

Ilustrasi menarik dapat kita simak pada dialog antara sorang profesor dan mahasiswanya:

Seorang profesor yang Atheis berbicara dalam sebuah kelas fisika.
Profesor: “Apakah Allah menciptakan segala yang ada?”
Para mahasiswa: “Betul! Dia pencipta segalanya.”
Profesor: “Jika Allah menciptakan segalanya, berarti Allah juga menciptakan kejahatan.”
(Semua terdiam dan agak kesulitan menjawab hipotesis profesor itu).
Tiba-tiba suara seorang mahasiswa memecah kesunyian.
Mahasiswa: “Prof! Saya ingin bertanya. Apakah dingin itu ada?”
Profesor: “Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada.”
Mahasiswa: “Prof! Dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin sebenarnya adalah ketiadaan panas.
Suhu -460 derajat Fahrenheit adalah ketiadaan panas sama sekali. Semua partikel menjadi diam. Tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut.
Kita menciptakan kata ‘dingin’ untuk mengungkapkan ketiadaan panas.
Selanjutnya! Apakah gelap itu ada?”
Profesor: “Tentu saja ada!”
Mahasiswa: “Anda salah lagi Prof! Gelap juga tidak ada.
Gelap adalah keadaan di mana tiada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari. Sedangkan gelap tidak bisa.
Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk mengurai cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari panjang gelombang setiap warna.
Tapi! Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur melalui berapa besar intensitas cahaya di ruangan itu.
Kata ‘gelap’ dipakai manusia untuk menggambarkan ketiadaan cahaya.
Jadi! Apakah kejahatan, kemaksiatan itu ada?”
Profesor mulai bimbang tapi menjawab juga: “Tentu saja ada.”
Mahasiswa: “Sekali lagi anda salah Prof! Kejahatan itu tidak ada. Allah tidak menciptakan kejahatan atau kemaksiatan. Seperti dingin dan gelap juga.
Kejahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk menggambarkan ketiadaan Allah dalam dirinya.
Kejahatan adalah hasil dari tidak hadirnya Allah dalam hati manusia.”
Profesor terpaku dan terdiam! (Sumenep, 15/5/2019)

#tadabburalam
#tafakkurcahayadanmatahari

 

Asli Mandala Gapura Sumenep Madura Jawa Timur, Koordinator Perukyat Wilayah Madura, Pengabdi di IAIN Madura (dulu STAIN Pamekasan) , Mampir Tidur di Pondok Pesantren Mathali'ul Anwar Pangarangan Sumenep, Pernah Nyantri di Asrama MAPK Jember dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bersandar di PMII dan NU, Ta'abbud Safari di RAUDHAH Masjid Nabawi dan Manasik Haji Mekkah (2014), Sekarang Nyantri di UIN Walisongo Semarang

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *