Pertolongan paling utama yang dimohonkan seorang hamba adalah bimbingan hidayah memasuki jalan yang lebar dan luas. Inilah inti dari ayat ke 6 surat al-Fatihah.
Hidayah dalam ayat ini bukan hanya hidayah berupa hidayah pengetahuan akan tetapi juga tentang jalan yang seharusnya ditempuh, dan sekalian mengantarnya ke jalan tersebut. Jalan itu adalah jalan kebenaran. Menurut sebagian ulama, hal tersebut dapat dilihat dalam redaksi ayat yang penulisannya tanpa huruf “ila”. Dengan demikian, jalan ini adalah jalan bagi para orang yang telah beriman atau telah berada di jalan yang benar walaupun belum sampai pada tujuannya.
Maka Allah Swt. rangkaikan redaksi ayat tersebut dengan sirath al-mustaqim, yakni jalan yang lurus, benar dan haq. Apabila dikomparasikan dengan kata sabil, sirath adalah jalan luas, semua orang dapat melaluinya tanpa desak-desakan. Jika kita melaluinya, maka kita tidak bisa keluar kecuali setelah tiba pada akhir tujuan perjalanan.
As-Sirath Al-Mustaqim adalah jalan luas, lebar, lurus dan haq serta terdekat menuju tujuan. Inilah akhir hidayah yang dimohonkan untuk keselamatan kita dunia sampai akhirat.
Untuk menjalaninya, dalam diri manusia ada tiga bekal yang dapat termanfaatkan, yaitu Naluri, Panca Indra dan Akal. Tiga bekal ini membutuhkan bimbingan, karena tanpa bimbinganNya akan salah arah dan pencapaian.
Bimbingan terhadap naluri terbatas pada penciptaan dorongan untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan. Naluri tidak mampu mencapai apa pun yang berada di luarnya. Karena itu, manusia membutuhkan petunjukNya. Untuk itu, Allah menganugerahkan panca indra. Namun betapapun tajam dan pekanya panca indra, seperti mata, kadangkala masih tidak mampu melihat lurusnya tongkat dalam air.
Yang meluruskan kesalahan pancaindra adalah petunjuk Allah yang berupa akal. Akal mengoordinasi semua informasi yang diperoleh indra kemudian membuat kesimpulan yang kadangkala berbeda dengan hasil serapan informasi indra. Namun akal hanya menjangkau alam fisika, atau dunia nyata. Karena itu, manusia membutuhkan hidayah Allah Swt. yang berupa hidayah agama.
Tahir Ibnu Asyur membagi hidayah menjadi empat tingkatan, yaitu:
Tingkatan terendah, hidayah berupa potensi penggerak atau tahu. Hidayah ini diperoleh melalui pengetahuan yang bersifat indrawi, dari yang paling mudah seperti menyusui saat haus, menangis waktu sakit, mata terpejam saat bahaya sampai pengambilan aksioma sebagai hasil dari pengamatan akal.
Tingkatan di atasnya, adalah hidayah pengetahuan teoritis seperti membedakan yang haq dan batil. Bagi kita untuk dapat memperoleh hidayah ini kita perlu selalu mengasuh akal kita.
Tingkatan di atasnya lagi, yaitu hidayah yang tidak dapat dijangkau oleh analisis akal yang sangat memberatkan manusia. Hidayah ini diperoleh dari para utusan Allah dan kitab-kitabNya yang dibawakan. Karena itu, bagi kita hidayah akan didapatkan dari memahami perintah Allah melalui para Rasul dan NabiNya. Maka selalu membaca dan memahami perintah Allah Swt. akan menyebabkan kita memperoleh hidayah sekaligus menuntun amalan kita menuju kebenaran.
Tingkatan tertinggi adalah hidayah tersingkapnya rahasia yang tidak bisa dicapai oleh siapapun, kecuali mereka yang dipilih melalui wahyu dan ilham sahih atau tajalliyaat (kecerahan hati yang melahirkan pandangan yang jelas tentang sesuatu) yang Allah berikan langsung kepada mereka. Karena itu, bagi kita yang belum sampai pada tingkatan ini, hidayah Allah akan diperoleh melalui taat dan ikut petunjuk mereka.
(Sumenep, 15 Januari 2019)