Menelusuri pelaksanaan rukyatul hilal perlu diklasifikasi hadis-hadis yang menjadi dasar atau pedoman pelaksanaan rukyatul hilal. Dari hasil penelusuran tersebut menunjukkan bahwa terdapat minimal 157 hadis yang diriwayatkan oleh 9 perawi. Diantaranya adalah Ibnu Abbas meriwayatkan 60 hadis, Abu Hurairah meriwayatkan 44 hadis, Ali Ibn Abi Thalib meriwayatkan 21 hadis, Hudzaifah Ibn al-Yaman meriwayatkan 13 hadis, Abu Umamah al-Bahily meriwayatkan 12 hadis, ‘Aisyah Ummul Mukminin meriwayatkan 6 hadis, Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 5 hadis, Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan meriwayatkan 5 hadis, dan Abu Darda’ meriwayatkan 4 hadis, serta 9 muhaddis lainnya yang kualitas para perawi dinyatakan adil, tsiqah dan sanadnya tersambung. Namun disini hanya diambil beberapa yang masyhur digunakan, yaitu:
حدثنا يحيى بن بكير قال حدثنى الليث عن عقيل عن ابن شهاب قال أخبرنى سالمٌ أن ابن عمر – رضى الله عنهما إذا « قال سمعت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يقول
رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا ، فإن غم عليكم فاقدروا له
Diinformasikan dari Yahya ibn Bukayr, informasi dari al-Lays, dari ‘Uqayl, dari ibn Syihâb, informasi dari Sâlim bahwa Ibn ‘Umar Ra. berkata; “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda”: “Jika kalian melihatnya (hilal) maka (mulailah) berpuasa, dan jika melihatnya (lagi di bulan baru) maka berbukalah (berhari raya), dan jika (pandangan) kalian terhalang maka genapkanlah (bulan itu 30 hari).[1]
حدثنا عبد الله بن مسلمة عن مالك عن نافع عن عبد الله بن عمر – رضى الله عنهما – أن رسول الله – صلى الله عليه لا تصوموا حتى تروا الهلال ، ولا « وسلم – ذكر رمضان فقال تفطروا حتى تروه ، فإن غم عليكم فاقدروا له
Informasi dari Abdullah ibn Maslamah, dari Mâlik. Dari Nâfi’, dari Abdullah ibn ‘Umar, Rasulullah Saw. bersabda terkait Ramadhan: “Jangan kalian (mulai) berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka (mengakhiri bulan puasa) sampai kalian melihatnya kembali, jika (pandangan) kalian terhalang maka genapkanlah (menjadi 30 hari)”.
أخبرنا محمد بن حاتم قال حدثنا حبان قال حدثنا عبد الله عن الحجاج بن أرطاة عن منصور عن ربعى قال قال رسول الله –إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه « – صلى الله عليه وسلم فأفطروا فإن غم عليكم فأتموا شعبان ثلاثين إلا أن تروا الهلال
قبل ذلك ثم صوموا رمضان ثلاثين إلا أن تروا الهلال قبل ذلك [2]
Informasi dari Muhammad ibn Hâtim, dari Hibbân, dari Abdullah, dari al-Hajjâj ibn Arthâh, dari Manshûr, dari Rab’a, Rasulullah Saw. bersabda: “Jika kalian melihat hilal maka (mulailah) berpuasa, dan jika melihatnya maka berbukalah, jika kalian ragu maka genapkanlah bulan Sya’bân 30 hari kecuali kalian melihat hilal sebelum itu, kemudian berpuasalah bulan Ramadhan 30 kecuali kalian melihat hilal sebelum itu”
حدثنا آدم حدثنا شعبة حدثنا محمد بن زياد قال سمعت أبا هريرة – رضى الله عنه – يقول قال النبى – صلى الله عليه – وسلم – أو قال قال أبو القاسم – صلى الله عليه وسلم
صوموا لرؤيته ، وأفطروا لرؤيته ، فإن غم عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين[3]
Informasi dari Adam, dari Syu’bah, dari Muhammad ibn Ziyâd, dari Abû Hurayrah Ra. berkata bahwa (Abû Qâsim) Nabi Saw. bersabda: “(Mulailah) berpuasa setelah melihatnya (hilal) danberbukalah setelah melihatnya (lagi), jika (pandangan) kalian terhalang maka genapkanlah bulan Sya’ban 30 hari.
حدثنا أبو عاصم عن ابن جريج عن يحيى بن عبد الله بن صيفى عن عكرمة بن عبد الرحمن عن أم سلمة – رضى الله عنها – أن النبى – صلى الله عليه وسلم – آلى من نسائه
شهرا ، فلما مضى تسعةٌ وعشرون يوما غدا أو راح فقيل له إن الشهر يكون « إنك حلفت أن لا تدخل شهرا . فقال تسعة وعشرين يوما[4]
Informasi dari Abû ‘Âshim, dari Ibn Jurayj, dari Yahya ibn Abdullah ibn Shayfiy, dari ‘Ikrimah ibnAbdurrahman, dari Ummu Salamah Ra, Nabi Saw pernah berpisah ranjang (îylâ’) dengan istri-istinya (karena menuntut perbaikan ekonomi) selama 1 bulan, setelah 29 hari, Rasulullah kembali kepada istri-istrinya, kemudian beliau diingatkan bahwa sumpahnya adalah 1 bulan, kemudian Rasulullah menanaggapi; “sesungguhnya bulan itu 29 hari”
وحدثني زهير بن حرب حدثنا إسماعيل عن أيوب عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنما الشهر تسع وعشرون فلا تصوموا حتى تروه ولا تفطروه حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له
Informasi dari Zuhayr ibn Harb, dari Ayûb, dari Nâfi’, dari Ibn ‘Umar Ra, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya bulan (qamariyyah) 29 hari, jangan kalian berpuasa sampai kalian melihatnya (hilal) dan jangan kalian berbuka sampai melihatnya, jika pendangan kalian terhalang maka genapkanlah bulan tersebut”.
حدثنا يحيى بن يحيى أخبرنا إبراهيم بن سعد عن ابن شهاب عن سعيد بن المسيب عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين يوما[5]
Informasi dari Yahya ibn Yahya, dari Ibrâhîm ibn Sa’îd, dari Ibn Syihâb, dari Sa’îd ibn al-Musayyab, dari Abû Hurayrah Ra, Rasulullah Saw. bersabda: “Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya (kembali) maka berbukalah, dna jika pandangan kalian terhalang maka berpuasalah 30 hari.”
حدثنا يعقوب بن إبراهيم الدورقي قال حدثني سعيد بن عامر عن شعبة عن قتادة عن أنس : ان عمومة له شهدوا عند النبي صلى الله عليه و سلم على رؤية الهلال فأمر الناس ان يفطروا وان يخرجوا إلى عيدهم من الغد [6]
Informasi dari Ya’qûb ibn Ibrâhîm al-Dawraqiy, dari Sa’îd ibn ‘Âmir, dari Syu’bah, dari Qatâdah, dari Anas berkata bahwa mayoritas Shahabat bersaksi kepada Nabi Saw telah melihat hilal, kemudian beliau menyuruh untuk mengakhiri bulan Ramadhan dan berhari raya esok harinya.
حدثنا يحيى بن يحيى ويحيى بن أيوب وقتيبة وابن حجر ) قال يحيى بن يحيى أخبرنا وقال الآخرون حدثنا اسماعيل وهو ابن جعفر ( عن محمد ) وهو ابن أبي حرملة ( عن كريب : أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية بالشام قال فقدمت الشام فقضيت حاجتها واستهل على رمضان وأنا بالشام فرأيت الهلال ليلة الجمعة ثم قدمت المدينة في آخر الشهر فسألني عبدالله بن عباس رضي الله عنهما ثم ذكر الهلال فقال متى رأيتم الهلال فقلت رأيناه ليلة الجمعة فقال أنت رأيته ؟ فقلت نعم ورأه الناس وصاموا وصام معاوية فقال لكنا رأيناه ليلة السبت فلا تزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه فقلت أو لا تكتفي برؤية معاوية وصيامه ؟ فقال لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم [7]
Informasi dari Yahya ibn Yahya dan Yahya ibn Ayyûb dan Qutaybah dan Ibn Hajar, (dalam informasi lain dari Ismâ’îl Ibn Ja’far), dari Muhammad Ibn Abî Qutaybah, dari Karîb menceritakan; “Ummu al-Fadhl bint al-Hâris mengutusku ke Syâm untuk menemui Mu’âwiyah, sampai di Syâm dan selesai dengan segala urusan atas perintahnya, aku mandapati awal Ramadhan (di Syâm) setelah melihat hilal pada malam jum’at, kemudian kembali ke Madinah pada akhir bulan. Kemudian Abdullah ibn ‘Abbâs Ra bertanya kepadaku tentang hilal; “kapan kalian melihat hilal?” aku menjawab; “malam jum’at”, kemudianditanya lagi; “(benarkah) kamu melihatnya?”, aku menjawab; “iya benar, dan yang lain juga melihatnya kemudian memulai puasa (Ramadhan) begitu juga dengan Mu’âwiyah”, kemudian Ibn ‘Abbas berkata “tetapi kami melihatnya pada hari sabtu, dan kami tidak memulai puasa sampai kami menggenapkan (Sya’ban) 30 hari atau kami melihatnya”, aku bertanya; “tidak cukupkah dengan rukyat dan awal puasa Mu’âwiyah (masyarakat Syâm)?” beliau menjawab; “tidak, beginilah Rasulullah Saw mengajarkan kami”.
Dari klasifikasi hadis di atas dapat dijelaskan bahwa perbedaan penetapan awal bulan menarik untuk dikaji, karena semakin dikaji semakin tampak perbedaannya. Pemicu perdebatannya adalah berkisar tentang hisab dan rukyat. Konsep ini, sepertinya, tidak dapat disatukan saat sudah melekat pada ornganisasi tertentu yang memeganginya secara berbeda. Perbedaan konsepnya dimulai dari persoalan metodologi pemahaman atas dasar hadis yang sama.
Dari beberapa hadis tersebut, kata kuncinya adalah rukyat, لرؤيته dan hisab, فاقدروا. Dari kata kunci tersebut, apabila dilihat dalam realitas masyarakat zaman nabi (asbabul wurudnya), maka awal bulan ditetapkan dengan melihat hilal langsung dengan mata telanjang dan jika meragukan (karena tertutup awan atau masalah lainnya) maka mengggenapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari atau diperkirakan (faqdurû lahu).
Pemahaman tekstual ini memunculkan pemahaman legal spesifik (hukum yang berlaku khusus pada saat itu) adalah bahwa menetapkan awal bulan dengan hitungan 29 atau 30 hari (jika harus digenapkan). Maka, adalah hal yang maklum bahwa pada zaman Rasulullah Saw belum ada alat-alat pembantu penglihatan jauh yang canggih dan ilmu perhitungan yang mapan dan ilmu perbintangan yang luas. Rukyat yang dilakukan Nabi adalah rukyat dengan mata kepala dan tanpa bantuan alat apapun.
Pemaknaan secara legal spesifik ini tentu tidak bisa diterapkan saat ini, karena perkembangan zaman yang tak terelakkan, di samping alat komputasi yang canggih juga alat rukyat yang menakjubkan. Maka hadis-hadis tersebut harus digali makna dibalik redaksi teks dan kenyataan historis masa Nabi Saw, yaitu ideal moral dari teks hadis tersebut.
Jika ditelaah, maka dapat disimpulkan makna ideal moral yaitu, pertama, jumlah hari puasa berkisar antara 29 sampai 30 hari. Kedua, penetapan awal dan akhir bulan puasa harus ditentukan dengan rukyat (baik bil ‘aini maupun bir ra’yi). Ketiga, kesaksian rukyat harus dikuatkan dengan bukti (rukyat bil ilmi dengan komparasi berbagai perhitungan dan rukyat bir ra’yi dengan saksi orang atau alat). Keempat bahwa pemberlakuan hasil rukyat bersifat lokalistik berdasarkan daerah atau (wilayat al-hukmi) masing-masing.
[1]Abdullah Ibn Isma’il al-Bukhari, al-Jâmi’ al-bShahîh al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Kasir, 1987), II: 671-674., Muslim Ibn al-Hajjâj, al-Jâmi’ al-Shahîh, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas, T.Th.), II: 759. Ahmad Ibn Hanbal, al-Musnad, (Kairo: Muassasah Qurtûbah, T.Th), II: 145., Malik Ibn Anas, Muwaththa’ al- Imâm Mâlik ma’a Kitâb al-Ta’lîq al-Mumajjid li al-Kanawî, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1991), II:154., Sulaymân Ibn al-Asy’as Abu Dâwud, Sunan Abî Dâwud, (T.Tm: Dâr al-Fikr, T.Th), I:711. Ahmad Ibn Syu’ayb al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’î, (Beirut: Dar al- Ma’rifah, 1420 H), IV:440. Muhammad Ibn ‘Îsa al-Tirmidzî, al-Jâmi’ al-Shahîh Sunan al-Timidzî, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas, T.Th.), III:72. Abdullah Ibn Abdurrahman Al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1407 H), II: 6.
[2]Ahmad Ibn Syu’ayb al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’î., IV:442.
[3]Abdullah Ibn Isma’il al-Bukhari, al-Jâmi’ al-Shahîh al-Mukhtashar, II:671-674.
[4]Muslim Ibn al-Hajjâj, al-Jâmi’ al-Shahîh, II:762.
[5]Ahmad Ibn Hanbal, al-Musnad, II:263. Ahmad Ibn Syu’ayb al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’î., IV:442.
[6]Ahmad Ibn Hanbal, al-Musnad, III:279.
[7]Muslim Ibn al-Hajjâj, al-Jâmi’ al-Shahîh, II:765. Ahmad Ibn Hanbal, al-Musnad, I:306, Ahmad Ibn Syu’ayb al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’î, IV:436. Muhammad Ibn ‘Îsa al-Tirmidzî, al-Jâmi’ al-Shahîh Sunan al-Timidzî, III:76.
(Semarang, 5/12/18)