Metode hisab Kalender ritual masyarakat Sumenep Madura menjadi pemikiran dan pola yang ditempatkan sebagai acuan perhitungan kalender, siklus peredaran Bulan dan Matahari itu logisnya harus bersifat eksak, dan nyatanya memang demikian. Al-Qur’an (ar-Rahman ayat 5) menegaskan: “Asy-syamsu wal-qamaru bihusban” (Matahari dan Bulan beredar dengan perhitungan), dan hasil penyelidikan ilmu pengetahuan membenarkan hal itu. Konsekuensi logisnya -karena peredaran Bulan dan Matahari bersifat eksak-adalah bahwa penyusunan kalender yang mengacu kepada peredaran kedua benda langit tersebut tentu bisa dilakukan dengan hisab atau perhitungan. Dari bangsa Arab, ilmu falak kemudian menyeberang ke Eropa, dibawa oleh bangsa Eropa yang menuntut ilmu pengetahuan di Spanyol seperti di Sevilla, Granada, dan Cordoba. Muncullah di Eropa Nicolas Copernicus (1473-1543), ahli ilmu falak dari Polandia yang mencetuskan teori heliosentris yang masih digunakan sampai sekarang. Selanjutnya, dengan ditemukannya teleskop oleh Galileo Galilei (1564-1642) yang menguatkan teori Nicolas Copernicus, ilmu falak kian maju lebih jauh lagi. Penguasaan ulama Islam terhadap ilmu falak telah memungkinkan mereka untuk melakukan penyusunan kalender berdasarkan hisab. Karena ini fenomena baru, maka ramailah perbincangan mengenai soal itu dari sudut hukum Islam (fiqh).
Di tengah kontroversi boleh tidaknya berpedoman pada hisab, sejumlah fuqaha seperti lbu Banna, Ibnu Syuraih, al-Qaffal, Qadi Abu Taib, Mutraf, lbnu Qutaibah, lbnu Muqatil ar-Razi, Ibnu Daqiqil ‘Id, dan as-Subki, membolehkan penggunaan hisab dalam menentukan awal dan akhir Ramadan. Kendati sama rnengacu pada perhitungan siklus peredaran Bulan mengelilingi Bumi, tetapi dalam implementasinya dikenal adanya dua sistem hisab dalam penyusunan kalender qamariyah, yakni Hisab Urfi dan Hisab Hakiki. Hanya saja untuk kepentingan ritual masyarakat muslim Sumenep, hisab hakiki tidak banyak digunakan. Dalam sistem Hisab Urfi, kalender qamariyah disusun berdasarkan masa peredaraan rata-rata Bulan mengelilingi Bumi, yakni 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (masa yang berlalu di antara dua ijtimak yang berurutan, atau satu bulan Sinodis). Berdasarkan perhitungan ini, maka satu tahun (12 bulan) dihitung sama dengan 354 hari 8 jam 48 menit 36 detik (354 11/30 hari). Karena terdapat angka pecahan sebesar sebesar 11/30 hari, maka untuk menghilangkannya sistem ini membuat siklus 30 tahunan dalam kalender qamariyah yang terdiri dari 19 tahun Basitah (354 hari) dan 11 tahun Kabisat (355 hari). Tahun-tahun Kabisat (tahun panjang) dalam siklus 30 tahun tersebut jatuh pada urutan ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, 29. Umur bulan dalam sistem ini dibikin tetap, yakni 30 hari untuk bulan-bulan ganjil dan 29 hari untuk bulan-bulan genap (kecuali bulan ke 12 pada tahun-tahun Kabisat berumur 30 hari).
Dengan sistem ini, awal bulan-bulan qamariyah di segenap belahan Bumi akan selalu jatuh pada hari yang sama. Tetapi karena mengesampingkan variabel penampakan hilal, maka –dalam kerangka penentuan waktu untuk pelaksanaan hukum syari’at- sistem ini tidak banyak dianut oleh kaum muslimin.Dari konteks di atas, hisab ‘urfi dapat dikriteriakan sebagai berikut:
- Bulan qomariyah ditentukan berdasarkan umur rata-rata bulan sehingga dalam setahun qomariyah umur setiap bulannya dibuat bervariasi 29 dan 30 hari.
- Bulan bernomor ganjil yaitu mulai Muharram berjumlah 30 hari dan bulan bernomor genap yaitu mulai Shafar berumur 29 hari. Tetapi khusus bulan Zulhijjah (bulan 12) pada tahun kabisat komariyah berumur 30 hari.
- Tahun kabisat qomariyah memiliki siklus 30 tahun dimana didalamnya terdapat 11 tahun yang disebut tahun kabisat (panjang) memiliki 355 hari, dan 19 tahun yang disebut basithah (pendek) memiliki 354 hari.
- Tahun kabisat ini terdapat pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan ke 29 dari keseluruhan siklus kabisat selama 30 tahun.
- Dengan demikian kalau dirata-rata maka periode umur bulan (bulan sinodis / lunasi) menurut Hisab Urfi adalah (11 x 355 hari) + (19 x 354 hari) : (12 x 30 tahun) = 29 hari 12 jam 44 menit ( menurut hitungan astronomis: 29 hari 12 jam 44 menit 2,88 detik ).
- Walau terlihat sudah cukup teliti namun yang jadi masalah adalah aturan 29 dan 30 serta aturan kabisat tidak menujukkan posisi bulan yang sebenarnya, akan tetapi, hanya pendekatan.
Metode taqribi menentukan derajat ketinggian Bulan paska ijtimak berdasarkan perhitungan yang sifatnya “kurang-lebih”, yakni membagi dua selisih waktu antara saat ijtimak dengan saat terbenam Matahari. Metoda hisab Sullamun Nayyirain, Fathur Rauf al-Mannan dan sejenisnya dipandang masuk dalam kategori ini. Metode ini memiliki ciri-ciri sebagaimana berikut, yaitu, pertama, metode hisab ini sudah menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematik, akan tetapi rumus-rumusnya masih sederhana sehingga hasilnya kurang teliti, kedua, hasil hisab taqribi akan sangat mudah dikenali saat penentuan ijtimak dan tinggi hilal menjelang 1 Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah yaitu terlihatnya selisih yang cukup besar terhadap hitungan astronomis modern, ketiga, beberapa kitab falak yang berkembang di Indonesia yang masuk dalam kategori Hisab Taqribi misalnya; Sullam al Nayyirain, Ittifaq Dzatil Bainy, Fat al Rauf al Manan, Al Qawaid al Falakiyah. Dari dua sistem tersebut, perhitungan untuk penentuan kalender Madura merupakan perpaduan bahkan cenderung lebih disederhanakan yaitu menambah 5 hari dari hari yang telah digunakan, seperti awal puasa 1432 H jatuh hari senin, maka awal puasa 1433 H akan jatuh pada hari Jumat.
Penentuan kalender tersebut sangat berkait erat dengan tradisi ritual yang masyarakat Sumenep Madura lakukan. Tradisi ini banyak melibatkan kiai dan komunitas santri di dalamnya bahkan membentuk kalender ritual tersendiri yang bersifat kultural. Kalender ritual yang berwarna kultural ini dapat dilihat dari penamaan sekaligus pemaknaan bulan dalam kalender Madura. Apabila dibandingkan dengan sumber aslinya dalam khazanah Islam, penamaan dan pemaknaan kalender ini sangatlah khas dan unik. Dalam khazanah Islam, nama dan makna kalender Islam yang dikenal oleh masyarakat Arab (proyek arabisme) seperti bulan Muḥarram diartikan Haram (haram berperang), Safar diartikan Perjalanan (musim para kabilah berdagang keluar daerah, Rabi’ al-awwal diartikan awal Musim Semi.- Rabi’ al-akhir diartikan akhir Musim Semi. Jumada al-awal diartikan awal Musim Kering/mati (tumbuhan), Jumada al-akhir diartikan akhir Musim kering/mati (tumbuhan), Rajab diartikan Menghormati (persiapan bekal (fisik & mental) menuju Ramadhan), Sya’ban diartikan Berpencar (berpencar mencari mata air, Ramadhan diartikan bulan diturunkan-NYA ayat-ayat al-Qur’an, Syawal diartikan Membawa (musim hewan berkembang biak (betina membawa isi), Dzu al-Qa’idah diartikan pemilik sikap duduk/tidak berdiri (masa tenang, tidak berperang, Dzu al-Hijjah diartikan pemilik masa Hajj/Haji (musim Haji). Dengan demikian, dari penamaan dan pemaknaan dua kalender tersebut menemukan istilah dan makna yang berbeda, walaupun sebenarnya dalam kalender Madura sudah banyak mengalami inkulturasi dengan tradisi masyarakat Sumenep dan dipengaruhi oleh kalender Jawa Islam karena itu memiliki kemiripan.
Kalender ritual yang berwarna kultural ini, dinamai dan dimaknai, pertama, bulan Sora bermakna suci sebagai simbol manusia itu dibekal fitrah kesucian atau potensi manusia untuk berbuat baik.[1] Untuk itu, bulan tersebut disimbolisasi dengan warna putih, yang diformulasi dengan pembuatan bubur putih, kedua, bulan Sappar sebagai kelanjutan bulan yang pertama, yaitu walaupun manusia memiliki fitrah suci, akan tatapi manusia berpotensi berbuat jelek, kaerena itu perlu dikendalikan dengan simbolisasi warna merah, yang diformulasi dengan pembuatan Tajin Sappar yakni Tajin warna putih dan merah, ketiga, bulan Molod bermakna bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw, karena itu, masyarakat Sumenep memperingatinya dengan bermacam kegiatan seperti dibe’en, keempat, kelima keenam dan ketujuh, bulan Rasol, Jumadil Awal, Jumadil Akher dan Rajab kurang mendapat perhatian khusus masyarakat Sumenep sehingga pada bulan-bulan tersebut diyakini sebagai bulan yang bebas melakukan aktifitas apapun termasuk tasyakuran, perayaan dan lain-lain. Kedelapan, bulan Rebbe yang berarti memberikan sadaqah kepada orang lain. Kesembilan, bulan Poasa bermakna menahan untuk tidak makan dan minum mulai terbit fajar sampai terbenam matahari dengan dibumbuhi bacaan al-qur’an, maupun amalan-amalan sunnah lainnya. Kesepuluh, bulan Sabel bermakna bulan saling maaf-memaafkan sebagai penyempurna dan memperbaiki hubungan antar manusia. Kesebelas, bulan Takepe’ bermakna bulan sempit atau tidak luas karena berada diantara bulan Sabel dan Dzulhijjah. Dan keduabelas, bulan Reaje bulan pengorbanan dan harapan.