ASPEK PEMAHAMAN ASTRONOMIS DALAM KOMPUTASI & PENGAMATAN HILAL

Sekian ratus tahun ummat Islam memperdebatkan masalah dalil rukyat (pengamatan/observasi) versus hisab (perhitungan/komputasi) yang cenderung makin melebarkan perbedaan. Penafsiran cenderung  bersifat dikhotomi yang menganggap rukyat dan hisab seolah berbeda. Bahkan kadang berujung pada pendapat yang ekstrem, ada pengamal rukyat yang melarang penggunaan hisab dan ada pengamal hisab yang menafikkan rukyat. Dampak tak langsungnya, ada pengamal rukyat yang sama sekali tidak faham hisab karena merasa tidak perlu tahu soal hisab. Sebaliknya ada pengamal hisab yang tidak mengenal teknik rukyat karena merasa tidak perlu belajar rukyat. Memang disadari, mencari titik temu dari segi dalil sangat sulit, karena menyangkut masalah keyakinan dalam beribadah.

Astronomi memandang rukyat dan hisab setara dan bisa saling menggantikan. Hisab dibangun dengan formulasi berdasarkan data rukyat jangka panjang. Sementara rukyat hilal yang sangat tipis dibantu dengan hasil hisab untuk memudahkan mengarahkan pandangan rukyat dan mengklarifikasi hasil rukyat yang meragukan. Astronomi bisa menjembatani rukyat dan hisab, tanpa mempertentangkan dalilnya. Para pengamal rukyat tetap dengan keyakinan dalil rukyatnya. Sementara para pengamal hisab pun bisa tetap dengan keyakinan dalil hisabnya.

Titik temu rukyat dan hisab adalah pada kriteria (batasan) awal bulan yang dapat mewadahi pengamal rukyat dan pengamal hisab secara setara. Kriteria itu digunakan oleh para pengamal hisab pada penentuan awal bulan qamariyah dan juga oleh para pengamal rukyat untuk memverifikasi hasil rukyat. Sementara formulasi kriterianya ditentukan berdasarkan pengalaman hasil rukyat. Astronomi membantu perumusan kriteria itu berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang sahih.

Perkembangan Pemikiran Hisab

Pola pandang dikhotomis selalu menganggap bahwa Rasulullah SAW hanya mengajarkan rukyat, sementara pihak lain menganggap bahwa Rasul mengajarkan rukyat karena belum mengenal hisab. Cara pandang astronomis bukan seperti itu. Astronomi memandang rukyat dan hisab adalah bagian dari perkembangan pemahaman sains  ummat Islam yang terpadu, bukan dikhotomis. Hadits yang menyatakan “Kami ini ummat yang ummiy yang tidak bisa menulis dan menghitung, bulan itu sekian dan sekian (dengan memberi isyarat 29 atau 30 hari)” sama sekali tidak dikaitkan dengan alasan rukyat. Oleh karenanya hadits itu tidak boleh dimaknai bahwa setelah ummat Islam pandai menghitung (menghisab), maka rukyat harus ditinggalkan. Terlalu naif kesimpulan seperti itu dan cenderung merasa hisab sudah sampai pada titik kesempurnaannya sehingga tak perlu rukyat. Perkembangan astronomi menunjukkan bahwa rukyat dan hisab selalu beriringan dan secara bersama saling memacu kemajuan.

Astronomi memandang hadits “ummiy” adalah cikal bakal hisab dan sekaligus membuktikan Rasulullah SAW tidak buta hisab. Dari pengalaman empirik, Rasulul tahu bahwa satu bulan hanyalah mungkin 29 atau 30 hari. Hanya saja pengetahuan saat itu belum mampu menentukan prakiraan bulan mana saja yang 29 hari dan yang 30 hari. Oleh karenanya pada zaman Rasul belum ada kalender, yang ada hanyalah catatan sejarah dalam memori masyarakat tentang suatu kejadian yang dinyatakan dengan hari, tanggal, dan rentang waktu dari suatu peristiwa. Misalkan, kelahiran Rasul dinyatakan pada hari Senin, 12 Rabbiul Awal Tahun Gajah.

Kalender baru diperkenalkan pada Zaman Khalifah Umar, terutama karena keperluan penentuan tahun yang pasti. Pada saat itulah dipilih tahun nol adalah tahun Hijrah Rasul dari Mekkah ke Madinah (karenanya disebut tahun Hijriyah). Alasannya karena kebiasaan masyarakat menyebut “Tahun ke sekian sejak hijrah Rasul”. Untuk membuat kalender harus menggunakan hisab dan harus ada kriterianya. Berdasarkan hadits “ummiy” itulah kita tahu bahwa pemahaman hisab pada zaman Rasul dan para sahabat hanyalah umur bulan 29 dan 30 hari. Lalu apa kriterianya? Kalender pertama menggunakan kriteria paling sederhana, yaitu umur bulan dibuat berselang-seling 30 dan 29 hari, yang dikenal sebagai kriteria hisab urfi (periodik). Muharram 30 hari, Shafar 29, Rabbiul Awal 30, Rabbiul Akhir 29, dan seterusnya. Perkembangan selanjutnya mengenal adanya periode panjang 30 tahunan, sehingga ada konsep tahun kabisat (tahun panjang, 355 hari) dan tahun basithoh (tahun pendek, 354 hari). Dalam 30 tahun ada 19 tahun kabisat dan 11 tahun tahun basithoh.

Ketika ilmu hisab makin berkembang dan konsep koordinat langit mulai dikenal dengan pembagian ekliptika (garis edar matahari di langit) menjadi 12 rasi (buruj), maka muncullah konsep ijtimak, yaitu bulan dan matahari segaris bujur ekliptika. Itulah dianggap sebagai batas periode manzilah (fase-fase) bulan sekitar 29,5 hari. Secara astronomi itu dikenal sebagai batas bulan baru (newmoon). Namun, para ahli falak (ahli peredaran benda-benda langit) tidak menjadikan ijtimak/newmoon sebagai batas awal bulan. Konsep awal rukyat tetap digunakan, yaitu terlihatnya hilal pasca maghrib. Hilal hanya mungkin terlihat bila terjadi setelah ijtimak. Maka, perkembangan kriteria kalender berikutnya adalah ijtimak qoblal ghurub (ijtimak sebelum maghrib). Inilah konsep kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat) yang paling primitif (paling awal).

Pemahaman astronomi terus berkembang, bukan hanya empirik posisi bulan dan matahari di langit, tetapi mulai masuk pada aspek dinamika benda-benda langit. Teori orbit benda-benda langit mulai dikenal, sehingga prakiraan posisi benda langit bisa dihitung secara lebih akurat. Bukan hanya periode fase bulan dan keberulangan posisinya di ekliptika, ilmu hisab bisa digunakan menghitung prakiraan posisi bulan setiap waktunya. Pemahaman konsep segitiga bola (spherical trigonometry) memungkinan konversi sistem koordinat bisa dilakukan. Perhitungan dalam koordinat ekliptika bisa dikonversikan menjadi koordinat horizon (berbasis ufuk). Dengan konsep koordinat horizon, maka berkembang perhitungan waktu terbit dan terbenamnya benda langit. Nah, dengan pengetahuan waktu terbenam bulan dan matahari, kriteria pun disempurnakan. Untuk terlihatnya hilal, semestinya bulan masih di atas ufuk setelah matahari terbenam. Maka kriterianya ditingkatkan menjadi kriteria yang kita kenal sebagai kriteria wujudul hilal, yaitu matahari terbenam sebelum bulan terbenam.

Sebenarnya untuk terlihatnya hilal bukan hanya faktor posisi yang diperhitungkan, tetapi juga harus diperhitungkan faktor cahaya hilal dan cahaya syafak (cahaya senja). Cahaya syafak adalah cahaya hamburan matahari oleh atmosfer. Artinya, semakin dekat ke matahari semakin kuat cahayanya. Demikian juga semakin dekat ke ufuk, cahaya syafak juga semakin kuat. Dengan perkembangan astronomi, dari data pengalaman rukyat jangka panjang telah dirumuskan kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat), berupa persyaratan untuk terlihatnya hilal. Sebagai produk sains, setiap peneliti bisa menyimpulkan beragam kriteria visibilitas hilal. Ada beberapa parameter yang digunakan. Terkait dengan kecerlangan hilal, parameter yang digunakan adalah lebar sabit hilal, umur hilal, atau jarak sudut bulan-matahari (elongasi). Terkait dengan kecerlangan cahaya syafak, parameter yang digunakan adalah tinggi hilal, beda tinggi bulan-matahari, beda azimut (jarak sudut bulan-matahari di garis ufuk), atau beda waktu terbenam bulan-matahari. Kriteria visibilitas hilal haruslah menggambarkan batasan minimal agar cahaya hilal bisa mengalahkan cahaya syafak sehingga hilal bisa terlihat.

Dari perkembangan pemikiran hisab tersebut, terlihat bahwa masalah perbedaan kriteria hisab wujudul hilal dan imkan rukyat bukanlah perbedaan yang mendasar. Keduanya sebenarnya mempunyai akar yang sama. Pemilihan wujudul hilal di Indonesia hanyalah didasarkan pada alasan penyederhanaan, karena memang sebelum tahun 1980-an ketika kalkulator dan komputer belum berkembang, hisab imkan rukyat dianggap sangat rumit. Tetapi sekarang, hisab imkan rukyat sangat terbantu dengan berbagai program komputer sehingga hisab hanya memerlukan beberapa klik saja.

Perkembangan Teknologi Pengamatan

Pertanyaan paling mendasar yang sering mengemuka adalah mengapa harus rukyatul hilal untuk penentuan awal bulan qamariyah? Rasul hanya memberi contoh, tanpa menjelaskan alasannya. Tetapi secara astronomi, rukyatul hilal sangat beralasan. Hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati sesudah maghrib. Itu pasti penanda awal bulan. Malam sebelumnya tidak ada bulan, yang disebut bulan mati (dark moon). Dan sebelumnya lagi terlihat bulan sabit tua pada pagi hari menjelang matahari terbit. Hilal adalah bukti paling kuat telah bergantinya periode fase bulan yang didahului bulan sabit tua dan bulan mati.

Rukyat hilal pada awalnya memang sekadar menggunakan mata, tanpa alat bantu. Namun sekarang, banyak alat bantu rukyat bisa digunakan. Teleskop dan binokuler (keker) adalah utama yang digunakan membantu pengamatan. Fungsi utama teleskop dalam pengamatan objek redup seperti hilal adalah memperbanyak cahaya yang dikumpulkan dan difokuskan ke mata. Sebagai perbandingan, pupil mata diameternya hanya sekitar 0,5 cm, sehingga cahaya yang ditangkap minim sekali. Dengan menggunakan teleskop dengan diameter lensa objektif atau cermin yang jauh lebih besar, maka cahaya yang diteruskan ke mata semakin banyak. Dengan susunan lensa atau cermin cekungnya, teleskop berfungsi juga membesarkan ketampakan objek. Dengan demikian teleskop bisa membantu memperjelas ketampakan hilal, sekaligus juga memperjelas kalau ternyata objek itu bukan hilal (misalnya cahaya lampu atau objek terang lainnya).

Dengan teleskop, cahaya hilal memang diperkuat, tetapi cahaya syafak juga diperkuat. Akibatnya, kontras hilal relatif tidak berubah. Dengan kata lain, dengan telskop pun cahaya hilal belum tentu bisa mengalahkan cahaya syafak. Itu sebabnya, seringkali dengan teleskop hilal pun masih sulit diamati. Sehingga persyaratan kriteria visibilitas hilal tetap harus diperhatikan, bahwa ada batasan minimal tertentu agar hilal terlihat, misalnya batas minimal ketinggian dan jarak sudut bulan-matahari.

Untuk membantu pengamatan sering juga digunakan kamera untuk merekam citra hilal. Dulu digunakan kamera film yang prosesnya lama. Sekarang para pengamat menggunakan kamera CCD atau kamera digital yang prosesnya cepat karena terbantu oleh berbagai program komputer pengolah citra. Kontras hilal pun bisa ditingkatkan dengan program pengolah citra. Sebenarnya peningkatan kontras bisa diupayakan juga penggunaan filter untuk menapis cahaya syafak, namun sampai saat upaya itu belum berhasil. Salah satu sebabnya karena panjang gelombang cahaya hilal dan cahaya syafak relatif sama. Gagasan untuk menggunakan filter inframerah juga tidak efektif, karena efek serapan inframerah oleh uap air di arah ufuk cukup besar, sehingga hilal malah tampak makin redup.

Saat ini pengamatan bulan sabit siang hari dimungkinkan dengan teknik pencitraan digital yang didukung dengan teknik penghalang matahari dan penggunaan filter. Untuk pengamatan siang hari, penggunaan filter inframerah cukup efektif, karena cahaya langit menghamburkan cahaya biru yang bisa ditapis dengan filter inframerah. Dengan ditapisnya cahaya langit, cahaya hilal bisa lebih menonjol. Pengamatan siang hari bukan masalah kecanggilan teleskopnya, tetapi pada keterampilan dan pengalaman pengamatnya. Para pengamat Indonesia pun ada yang berhasil mengamati bulan sabit siang hari, walau bukan bulan sabit yang termuda karena tingkat kesulitannya memang lebih tinggi. Banyak yang berharap pengamatan bulan sabit siang hari menjadi solusi alternatif rukyatul hilal. Namun, harapan itu keliru, karena bulan sabit siang hari bukanlah hilal penentu awal bulan. Alasannya, karena bulan sabit siang hari bisa menunjukkan bulat sabit tua, bulan saat ijtimak, atau bulan sabit muda. Terlihatnya bulan sabit siang hari juga bukan jaminan terlihatnya hilal saat maghrib. Hilal penentu awal bulan hanyalah bulan sabit sesudah maghrib.

(Dinukil dari Tulisan Prof. Dr. Tomas DjamaluddinProfesor Riset Astronomi-Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) laman: https://tdjamaluddin.wordpress.com/2013/08/05/peran-astronomi-dalam-penyatuan-penetapan-awal-bulan-qamariyah/. Mandala, 27/11/18)

Asli Mandala Gapura Sumenep Madura Jawa Timur, Koordinator Perukyat Wilayah Madura, Pengabdi di IAIN Madura (dulu STAIN Pamekasan) , Mampir Tidur di Pondok Pesantren Mathali'ul Anwar Pangarangan Sumenep, Pernah Nyantri di Asrama MAPK Jember dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bersandar di PMII dan NU, Ta'abbud Safari di RAUDHAH Masjid Nabawi dan Manasik Haji Mekkah (2014), Sekarang Nyantri di UIN Walisongo Semarang

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *