Setiap muslim pada saat mendirikan salat harus mengetahui dua hal pokok, yaitu pertama, kapan waktu salat dimulai dan berakhir dan kedua, dimanakah arah kiblat yang harus dituju. Karena itu dalam wacana fiqh, menghadap kiblat merupakan syarat sah salat. Selama ini dalam membangun tempat ibadah, masyarakat menentukan arah kiblat dengan dua cara, pertama, mengikuti arah kiblat masjid atau musholla yang ada terlebih dahulu dan kedua, menghadap ke barat dengan asumsi bahwa arah kiblat identik dengan arah barat. Kedua cara tersebut akan mengakibatkan penentuan arah kiblat yang salah apabila arah masjid dan musholla yang diikuti salah. Cara semacam ini banyak dilakukan oleh masyarakat Madura khususnya Sumenep dan Pamekasan. Arah kiblat Masjid yang dijadikan pedoman adalah arah kiblat masjid agund dengan asumsi bahwa masjid tersebut dibangun dan didirikan oleh ulama beberapa puluhan bahkan ratusan tahun silam sehingga akurasinya tidak perlu dipertanyakan. Padahal dengan dinamika gerakan bumi setiap 50 puluh tahun semestinya arah kiblat tersebut perlu dikoreksi.
Dari konteks di atas, maka signifikansi penelitian yang berjudul Arah Kiblat Masjid Agung Di Madura (Penelusuran Metode Dan Tingkat Akurasinya pada Masjid Jamik Sumenep dan Masjid asy-Syuhada’ Pamekasan) adalah pertama, mengetahui metode yang dipergunakan, kedua, mengetahui proses perhitungan dan ketiga mengetahui akurasi hasil perhitungan metode penentuan arah kiblat Masjid Jamik Sumenep dan Masjid Agung asy-Syuhada’ Pamekasan.
Pendekatan yang diambil dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan mempergunakan sumber-sumber primer dan sekunder. Wawancara serta interpretasi analisis secara terus menerus dilakukan di lapangan sebagai acuan untuk mengembangkan informasi-informasi sehingga akhirnya dapat peneliti jadikan sebagai data dalam penelitian ini.
Berdasarkan dari paparan hasil penelitian yang dideskripsikan, maka penelitian ini memperoleh temuan bahwa pertama, penentuan arah kiblat masjid Jamik Sumenep mengunakan ketinggian ilmu huduri (mukasafah) seperti ilmu yang dimiliki oleh para wali sehingga yang menjadi subtansi pokok menhadap kiblat adalah bagaimana seseorang dapat menghadirkan kiblat dalam hatinya. Sedangkan penentuan arah kiblat masjid agumg pamekasan telah menggunakan metode modern dengan memperhatikan rumus-rumus trigonometri dan besar azimut kota pamekasan, namun demikian agak disayangkan karena tanpak para pengurus takmir masjid tidak ada yang mengetahui besar azimut yang menjadi pedoman penentuannya. Kedua, proses penentuan arah kiblat masjid jamik sumenep yaitu dengan menggunakan justifikasi 40 orang ulama, mereka diminta melakukan salat dua rakaat dan sujud kemudian diperintahkan melihat ke arah lurus dan yang terlihat adalah ka’bah. Sedangkan prosen penentuan arah kiblat pada pembangunan masjid asy-Syuhada dengan menentukan lebih dulu sudut arah kiblat, yakni sudut dari sebuah segitiga bola yang sisinya terbentuk dari lingkaran-lingkaran besar yang saling berpotongan melalui titik ka’bah, masjid agung Pamekasan dan titik utara. Selanjutnya melalui modifikasi rumus, untuk posisi di Indonesia, misalnya hasil yang diperoleh sudut arah kiblatnya yaitu 66 º 37 ′ 38.5′′ dari arah utara atau 23 º 23′ 56.15′′ dari titik barat dan ketiga Akurasi posisi arah kiblat masjid jamik Sumenep tidak dapat dijustifikasi dengan metode tahqiqi karena terdapat perbedaan dasar, asumsi dan proses penentuannya, Sedangkan arah kiblat masjid agung Pamekasan dapat dijustifikasi akurat, walaupun masih terdapat selisih hasil perhitungan yang disebabkan perbedaan penggunaan data azimutnya.
Dari hasil dan temuan penelitian tersebut, ada beberapa rekomendasi bagi masyarakat muslim secara umum yaitu pertama, posisi arah kiblat seringkali kurang menjadi perhatian umat Islam, karena itu sebaiknya setiap masjid atau musalla harus dilengkapi dengan tempat permanen yang menggambarkan arah kiblatnya dan kedua, bumi bergerak sangat dinamik sehingga selalu mengakibatkan perubahan posisi bangunan di atasnya, untuk itu sebaiknya setiap 50 tahun atau setiap ada bencana alam posisi arah kiblat perlu dikoreksi. (Achmad Mulyadi, Daur Ulang Penelitian 2006)