GEMPA RAYA ‘MAULID’ NABI MUHAMMAD SAW

Maulid Nabi Muhammad SAW adalah tradisi dan kebiasaan masyarakat muslim memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw. Kegiatan ini, seringkali secara bersamaan dilaksanakan pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal menurut kalender Hijriyah.

Penamaan tradisi dengan “maulid” berdasar kata maulid atau milad (bahasa Arab), yang berarti waktu kelahiran. Tradisi perayaan ini merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad Saw wafat. Secara subtansial, peringatan ini merupakan ekspresi kecintaan, kegembiraan dan penghormatan masyarakat muslim kepada Nabi Muhammad Saw.

Kapan perayaan maulid Nabi ini diawali? Dalam berbagai kitab sejarah dapat dikelompokkan menjadi tiga pendapat.

PERTAMA, peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh Raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin Al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 Hijriyah.[1]  Kelompok ini menjelaskan bahwa saat perayaan dilaksanakan, Sultan Al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama dalam bidang ilmu Fiqh, ulama Hadits, ulama dalam bidang ilmu kalam, ulama usul, para ahli taSawuf, dan lainnya. Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan Maulid Nabi, Sultan Al-Muzhaffar telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan Al-Muzhaffar.[2] Pendapat ini didukung oleh para sejarawan muslim seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn Al-Jauzi, Ibn Kathir, Al-Hafizh Al-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Suyuthi.[3]

KEDUA, kelompok ini memandang bahwa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi. Sultan Salahuddin pada kala itu membuat perayaan Maulid dengan tujuan membangkitkan semangat umat Islam yang telah padam untuk kembali berjihad membela Islam pada masa Perang Salib. Pendapat ini dikuatkan oleh Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan “Sholahuddin-lah yang menaklukkan Mesir. Dia menghapus dakwah ‘Ubaidiyyun yang menganut aliran Qoromithoh Bathiniyyah (aliran yang jelas sesatnya, pen). Shalahuddin-lah yang menghidupkan syari’at Islam di kala itu”.[4]

KETIGA, pendapat ini menganggap bahwa yang memprakarsai maulid nabi adalah Dinasti Fatimiyyun . Pendapat dinyatakan oleh al-Maqriziy dan Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy (mufti negeri Mesir) bahwa Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun, yaitu perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi pada tahun 362 H, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah az-Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.”[5]

Gempa Raya di Indonesia

Masyarakat Muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair Barzanji dan pengajian, serta dengan perayaan dan permainan gamelan Sekaten. Jika bulan rabi’ul awal datang, perayaan maulid nabi ini bagaikan terjadinya gempa, mengakibatkan masyarakat muslim berbondong-bondong datang ke masjid, berkumpul dan mengekspresikan kecintaan mereka kepada Nabi sanjungannya, Muhammad Sallahu ‘Alaihi Wasallam.

Bulan Rabiul Awal diakuinya sebagai bulan yang istimewa. Bagaimana tidak istimewa? Bulan ini diakuinya sebagai bulan istimewa karena pada bulan tersebut manusia terbaik, hamba Allah dan utusan Allah termulia dilahirkan di dunia.  Pada 1439  abad yang lalu, tepatnya pada hari Senin 12 Rabiul Awal 576 M, baginda Nabi Muhammad Saw dilahirkan dari pasangan Sayyid Abdullah dan Sayyidah Aminah Radliya Allahu ‘anhuma.

Lantas bagaimana pendapat para ulama 4 madzhab mengenai tradisi perayaan maulid tersebut? Beberapa statemen ulama’ mengenai tradisi tahunan tersebut, dapat dikaji sebagaimana berikut:

Pertama, al-Imam al-Suyuthi dari kalangan ulama’ Syafi’iyyah mengatakan:

هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالْاِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ

“Perayaan maulid termasuk bid’ah yang baik, pelakunya mendapat pahala. Sebab di dalamnya terdapat sisi mengagungkan derajat Nabi Saw dan menampakan kegembiraan dengan waktu dilahirkannya Rasulullah Saw”.

Ditemukan dalam redaksi lain dengan pernyataan berikut:

يُسْتَحَبُّ لَنَا إِظْهَارُ الشُّكْرِ بِمَوْلِدِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَالْاِجْتِمَاعُ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِنْ وُجُوْهِ الْقُرُبَاتِ وَإِظْهَارِ الْمَسَرَّاتِ

“Sunah bagi kami untuk memperlihatkan rasa syukur dengan cara memperingati maulid Rasulullah Saw, berkumpul, membagikan makanan dan beberapa hal lain dari berbagai macam bentuk ibadah dan luapan kegembiraan”.

Kedua,, ulama dari kalangan Hanafiyyah, Syaikh Ibnu ‘Abidin mengemukakan:

اِعْلَمْ أَنَّ مِنَ الْبِدَعِ الْمَحْمُوْدَةِ عَمَلَ الْمَوْلِدِ الشَّرِيْفِ مِنَ الشَّهْرِ الَّذِيْ وُلِدَ فِيْهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ

“Ketahuilah bahwa salah satu bid’ah yang terpuji adalah perayaan maulid Nabi pada bulan dilahirkan Rasulullah Muhammad Saw”.

Bahkan setiap tempat yang di dalamnya dibacakan sejarah hidup Nabi Saw, akan dikelilingi malaikat dan dipenuhi rahmat serta ridla Allah Swt.

Ketiga, al-Imam Ibnu al-Haj ulama’ dari kalangan madzhab Maliki mengatakan:

مَا مِنْ بَيْتٍ أَوْ مَحَلٍّ أَوْ مَسْجِدٍ قُرِئَ  فِيْهِ مَوْلِدُ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِلَّا حَفَّتِ الْمَلاَئِكَةُ أَهْلَ ذَلِكَ الْمَكَانِ وَعَمَّهُمُ اللهُ تَعَالَى بِالرَّحْمَةِ وَالرِّضْوَانِ

“Tidaklah suatu rumah atau tempat yang di dalamnya dibacakan maulid Nabi Saw, kecuali malaikat mengelilingi penghuni tempat tersebut dan Allah memberi mereka limpahan rahmat dan keridloan”.

Keempat, Al-Imam Ibnu Taimiyyah dari kalangan madzhab Hanbali mengatakan:

فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ

“Mengagungkan maulid Nabi dan menjadikannya sebagai hari raya telah dilakukan oleh sebagian manusia dan mereka mendapat pahala besar atas tradisi tersebut, karena niat baiknya dan karena telah mengagungkan Rasulullah Saw”.

Bahkan merayakan maulid Nabi bisa menjadi wajib bila menjadi sarana dakwah yang efektif untuk menandingi perayaan-perayaan lain yang terdapat banyak kemunkaran.

Al-Syaikh al-Mubasyir al-Tharazi menegaskan:

إِنَّ الْاِحْتِفَالَ بِذِكْرَى الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ الشَّرِيْفِ أَصْبَحَ وَاجِبَا أَسَاسِيًّا لِمُوَاجَهَةِ مَا اسْتُجِدَّ مِنَ الْاِحْتِفَالَاتِ الضَّارَّةِ فِيْ هَذِهِ الْأَيَّامِ.

“Sesungguhnya perayaan maulid Nabi menjadi wajib yang bersifat siyasat untuk menandingi perayaan-perayaan lain yang membahayakan pada hari ini”.

Dari beberapa keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi merayakan maulid Nabi Saw merupakan bid’ah yang baik (disunahkan), meski tidak pernah dilakukan pada zaman Nabi Saw, karena di dalamnya terdapat sisi mengagungkan dan kecintaan kepada Rasulullah Saw.[6]

RAGAM EKSPRESI “MAULID”

Banyak cara masyarakat muslim mengekspresikan kecintaan kepada Nabi Muhammad Saw, baik cinta pada sifat dan cara berkomunikasi Nabi Saw, budi, simpati dan empatinya pada sesama, sampai pada cara membimbing dan menyadarkannya pada orang lain.

Bentuk kecintaannya ini sangatlah beragam, banyak di antara mereka yang mengekspresikannya dalam bentuk tanda, dengan makna tersirat di dalamnya. Bahkan banyak diantara mereka pun mengekspresikannya dalam bentuk budaya dan tradisi,  sebagaimana tradisi berikut:

  1. Grebeg Maulud, Yogyakarta

Hampir setiap tahun Keraton Yogyakarta menggelar tradisi Grebeg Maulud di Keben Keraton Yogyakarta. Grebeg Maulud adalah upacara puncak dari perayaan sekaten untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw, ditandai dengan keluarnya beberapa gunungan. Biasanya ada 7 Gunungan yang dikeluarkan, namun saat ini ada 8 gunungan, ditambah gunungan Bromo, yang hanya ada 8 tahun sekali.

Gunungan dibawa ke Masjid Gede, Kepatihan dan Puro Pakualaman. Gunungan terdiri dari Gunungan Putri, Kakung, Darat, Gepak, Pawuhan dan Gunungan Bromo.

  1. Baayun Maulid, Banjarmasin

Tradisi Baayun Maulid adalah tradisi yang selalu dilaksanakan untuk mempetingati Maulid Nabi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Banyak masyarakat turut berpartisipasi dari bayi hingga orang dewasa. yakni dengan diayun dengan ayunan yang dibuat khusus.

Ayunan itu dihiasi berbagai macam benda yang dalam tradisi orang Banjar memiliki makna-makna dan harapan tertentu bagi yang diayun. Misalnya, janur bernama ular lidi yang diletakkan di bagian atas ayunan, bermakna kebersihan. Diharapkan, orang yang diayun akan selalu senang dengan kebersihan.

Kemudian ada lagi janur berbentuk bunga dan burung. Itu menyimbolkan kebesaran Kerajaan Banjar di masa lalu. Ayunan tersebut didominasi kain berwarna kuning, yang dalam sejarah orang Banjar, kain kuning dianggap melambangkan kebesaran dan kejayaan Kerajaan Banjar di masa lalu.

  1. Dulangan, Lombok

Tradisi ini adalah tradisi dimana setiap rumah dalam menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW mengeluarkan 1 dulang ( nasi, lauk, jajan, buah dll). Dulang tersebut kemudian dibawa kemasjid dan dimakan bersama-sama.

  1. Tradisi Unik Probolinggo

Tradisi unik ini selalu terjaga setiap tahunnya, dan selalu dilaksanakan dalam memperingati Maulid Nabi di daerah Probolinggo.

Sejumlah keranjang digantung di atas masyarakat yang mendatangi peringatan tersebut. Keranjang yang berisi snack, buah dan sandal serta sayuran langsung direbut oleh warga ketika berdiri membaca salawat. Siapa yang cepat dia yang dapat, setelah itu para warga khusyuk kembali membaca salawat.

  1. Perahu hias, Tangerang

Peringatan Maulid Nabi biasanya identik dengan tausiyah dan pengajian, namun warga Kali Pasir, Tangerang mengemas kegiatan tersebut dengan mengarak perahu kertas berukuran besar ke aliran sungai Cisadane.

Arak-arakan perahu hias ini merupakan tradisi turun temurun menyambut kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Kurang lebih ada sepuluh perahu kertas yang diarak warga dan dibuat hanya dalam kurun waktu dua sampai tiga hari.

  1. Ampyang Maulid 

Warga Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, memiliki tradisi menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan menggelar tradisi Ampyang Maulid.

Tradisinya dengan menyajikan makanan yang dihiasi dengan ampyang atau nasi dan krupuk yang diarak keliling Desa Loram Kulon, Kecamatan Jati, Kudus, sebelum menuju ke Masjid Wali At Taqwa di desa setempat.

Setelah sampai di Masjid Wali, tandu yang berisi nasi bungkus serta hasil bumi yang sebelumnya diarak keliling desa didoakan oleh ulama setempat, kemudian dibagikan kepada warga setempat untuk mendapatkan berkah.

  1. Tradisi Memasak Lemang, Aceh

Umumnya masyarakat Aceh dalam memperingati Maulid Nabi dengan memasak lemang yang merupakan tradisi warisan suku Alas. Lemang adalah makanan hasil dari campuran ketan dan air santan.

Kedua bahan tersebut nantinya akan dimasukkan ke dalam bambu lalu dimasak dengan cara dibakar menggunakan kayu. Yang unik dari pembuatan lemang adalah proses pembakarannya yang cukup lama, setidaknya harus menunggu hingga empat jam.[7] (Mandala, 161118, 4.06)

 

[1] Ibnu Katsir menyebut dalam sebuah tulisannya: “Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awal. Dia merayakannya secara besar-besaran. Dia adalah seorang yang berani, pahlawan, alim dan seorang yang adil – semoga Allah merahmatinya”.

[2]  Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat Al-A`yan menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam dan seterusnya ke Irak. Ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijriah, dia mendapati Sultan Al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karena itu, Al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “Al-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An-Nadzir”. Karya ini kemudian dia hadiahkan kepada Sultan Al-Muzhaffar.

[3] Al-Imam Al-Suyuthi menulis karya khusus tentang Maulid yang berjudul “Husn Al-Maqsid Fi Amal Al-Maulid”.

[4] Majmu’ Al Fatawa, 3/281

[5] Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490, lihat juga Al Maulid, 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, 145-146. Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hlm.251) dan Al Ustaz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hlm.84) mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun).

[6] Teks ini dikutip dari NU Online- disarikan dari Syekh Yusuf Khathar Muhammad, al-Mausu’ah al-Yusufiyyah, juz. 1: 40.

[7] Informasi lengkapnya dapat dicari di: Detik.com | Tribunnews.com | Kabarpas.com | Bantennews.co.id | Republika.co.id

 

Asli Mandala Gapura Sumenep Madura Jawa Timur, Koordinator Perukyat Wilayah Madura, Pengabdi di IAIN Madura (dulu STAIN Pamekasan) , Mampir Tidur di Pondok Pesantren Mathali'ul Anwar Pangarangan Sumenep, Pernah Nyantri di Asrama MAPK Jember dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bersandar di PMII dan NU, Ta'abbud Safari di RAUDHAH Masjid Nabawi dan Manasik Haji Mekkah (2014), Sekarang Nyantri di UIN Walisongo Semarang

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *