WACANA PEREMPUAN DALAM AL-QUR’AN

Dalam konteks tersebut, pemahaman ilmiah dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin tersebut menimbulkan perdebatan panjang, termasuk di kalangan ilmuwan-teolog dan feminis. Mereka memberikan andil penting dalam wacana ini karena penafsiran-penafsiran mereka terhadap kitab suci merujuk kepada kondisi obyektif lingkungan masyarakat dimana mereka berada. Tidak sedikit penafsiran mereka yang membenarkan konstruksi budaya yang hidup di dalam masyarakat. Namun sebaliknya, tidak sedikit konstruksi budaya dibangun di atas pemahaman kitab suci, misalnya persepsi al-Qur’an terhadap tiga hal pokok tentang perempuan[1], pertama, tujuan penciptaan perempuan untuk melengkapi kebutuhan laki-laki (Adam) di Surga. Hal ini mengesankan bahwa perempuan hanyalah pelengkap dan diciptakan untuk melayani kebutuhan laki-laki. Kedua, perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, ini mengesankan perempuan subordinat. Ketiga, perempuan sebagai penyebab jatuhnya manusia dari surga ke bumi. Hal ini mengesankan perempuan sebagai penyebab dosa warisan. Ketiga pemahaman tersebut membentuk persepsi yang mengendap di alam sadar masyarakat sehingga mereka memandang bahwa perempuan memang tidak pantas disejajarkan dengan laki-laki.[2]

Dalam pada itu, konsep gender (baca: relasi laki-laki dan perempuan) dalam Islam masih menjadi perdebatan di kalangan umat Islam. Sebagian kalangan berpendapat bahwa gender dalam Islam tidak ada masalah, dan sebagian yang menganggapnya ada masalah dan pandangan status quo tentang gender sudah saatnya digugat[3]. Bila dicermati, pangkal perbedaan pendapat mereka sebenarnya terletak pada masalah interpretasi ayat. Karena itu, persoalan krusial yang perlu dikaji adalah menimbang perspektif “ke-islam-an” terhadap kedua pendapat tersebut.

Penafsiran terhadap al-Quran surat an-Nisa’ ayat 4 seringkali dijadikan landasan justifikatif “superioritas” laki-laki (suami) atas perempuan (istri). Kata qawwamun dalam ayat tersebut dipahami terlepas dari advokasi quranik lainnya tentang pembentukan kehidupan keluarga sehingga muncul klaim adanya relasi gender dalam lingkup domestik.[4] Padahal jika dihubungkan dalam kerangka pemahaman ideal moral al-Quran tentang tujuan perkawinan, tata pergaulan suami-istri dan tanggung jawab keluarga, maka klaim di atas merupakan akibat dari pemahaman simplistik-parsialistik (menyederhanakan dan tidak menyeluruh) terhadap al-Quran. Dominannya pola pemahaman semacam ini turut andil menutupi “keluhuran” Islam orisinal dengan “bopeng” Islam Historis. Lebih jauh dari pemahaman tersebut, al-Quran semestinya ditangkap makna substansialnya sehingga selalu relevan dengan tantangan dan perkembangan zaman.[5]

Al-Qur’an tidak memberikan beban gender secara mutlak dan kaku kepada seseorang namun bagaimana agar adanya kewenangan manusia untuk menggunakan kebebasannya dalam memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling menguntungkan, baik sektor domestik maupun sektor publik.[6] Dalam konteks ini, terdapat beberapa alasan munculnya dorongan al-Qur’an ke arah kesetaraan perempuan dan laki-laki. Pertama, al-Qur’an memberikan tempat yang terhormat kepada seluruh manusia, yang meliputi perempuan dan laki-laki. Kedua, secara norma-etis al-Qur’an membela prinsip-prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki. Perbedaan struktur biologis, menurut al-Qur’an, tidak berarti ketidaksetaraan dan status yang didasarkan pada jenis kelamin, melainkan terdapat perbedaan antara fungsi-fungsi biologis dengan fungsi-fungsi sosialnya. [7]

Dalam kaitan ini, Islam menegaskan prinsip-prinsip yang mendukung eksistensi keadilan gender, yaitu pertama, bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki peluang dan potensi untuk menjadi hamba Allah yang ideal, mencapai derajat puncak spiritualitas yang paling tinggi yakni Muttaqin. Kedua, bahwa laki-laki dan perempuan adalah sebagai khalifah Allah di bumi yang sama-sama memiliki tugas untuk memakmurkan bumi. Ketiga, laki-laki dan perempuan sama-sama menerima dan mengemban amanah primordial. Keempat, laki-laki dan perempuan sama-sama terlibat dalam drama kosmis. Kelima, laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi.[8]

[1] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perpsektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 4-7

[2] Syarif Hidayatullah, “ Al-qur’an dan Peran Publik Perempuan “, hlm. 6

[3] Legitimasi ajaran agama terhadap tradisi patrialkhal dapat ditelusuri dalam dua perspektif, yaitu perspektif sosiologis dan teologis. Dalam perspektif sosiologis, relasi gender dipahami sebagai institusi sosial yang terorganisasi antara laki-laki dan perempuan yang meliputi hubungan personal dan kekeluargaan sampai hubungan institusi sosial yang lebih besar, hubungan hierarkis dalam organisasi dan struktur pekerjaan. Dalam hubungan ini, gender merupakan proses sosiologis yang dapat berubah sesuai dengan perubahan faktor-faktor pembentuknya. Masuknya tradisi patrialkhal berawal dari pemahaman gender yang tereduksi. Relasi gender dipahami sama dengan relasi seks. Kerangka berpikir sex differences yang diberlakukan sama dengan  gender differences yang pada akhirnya akan melahirkan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Sedangkan dalam perspektif teologis meliputi legitimasi ajaran teologi dan tradisi keagamaan  yang masuk dari wacana dinamis pembacaan teks keagamaan, yang terdapat dalam tradisi tafsir dan tradisi periwayatan tafsir. Dalam kedua tradisi tersebut ditemukan penafsiran yang patrialkhal seperti laki-laki adalah pemimpin wanita atau perempuan adalah sumber bencana. Lihat,Kadarusman, Agama, Relasi Gender dan Feminesme, (Yogyakarta; Kreasi Wacana, 2005), hlm. 4-5

[4] Munculnya penafsiran biar gender boleh jadi disebabkan oleh beberapa hal, pertama, belum jelasnya perbedaan antara sex dan gender dalam mendefinisikan laki-laki dan perempuan, kedua, pengaruh kisah-kisah israiliyat, ketiga, menggunakan pendekatan tekstualistik dan keempat, pembacaan terhadap ayat-ayat gender secara parsial. Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta; Paramadina, 1999), hlm. 21

[5] Hamim Ilyas,  Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 20

[6] Nabi secara radikal telah mendobrak pengurungan perempuan hanya sebagai makhluk domestik saja dan ini telah dilakukan oleh umat awal. Dengan anjuran menuntut ilmu mengindikasikan bahwa Nabi membuka ruang publik sebagai ajang bagi kehidupan laki-laki maupun perempuan. Aja

ng pengamatan ilmu adalah kehidupan bersama, kehidupan publik yang tidak mungkin dibatasi. Karena itu membatasi ruang gerak perempuan hanya dalam ruang tembok rumah saja dan menganggapnya sebagai dogma agama adalah tidak berdasar. Lihat, Masdar F. Masudi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, (Bandung; Mizan,  1997), hlm. 56

[7] Ali Asghar Engineer, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam, (Yogyakarta: LSPPA, 2000), hlm.  34

[8] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perpsektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 247-263

Asli Mandala Gapura Sumenep Madura Jawa Timur, Koordinator Perukyat Wilayah Madura, Pengabdi di IAIN Madura (dulu STAIN Pamekasan) , Mampir Tidur di Pondok Pesantren Mathali'ul Anwar Pangarangan Sumenep, Pernah Nyantri di Asrama MAPK Jember dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bersandar di PMII dan NU, Ta'abbud Safari di RAUDHAH Masjid Nabawi dan Manasik Haji Mekkah (2014), Sekarang Nyantri di UIN Walisongo Semarang

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *