TRADISI BAHSUL MASAIL NU SUMENEP : Wadah Pemahaman Islam secara Mazhabi

Dalam memahami Islam, NU sangat berhati-hati dan tidak mau memecahkan persoalan keagamaan yang dihadapi dengan merujuk langsung kepada nas al-Qur’an maupun Sunnah. Hal ini tidak terlepas dari pandangan bahwa matarantai perpindahan ilmu agama Islam tidak boleh terputus dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Yang dapat dilakukan adalah menelusuri matarantai yang baik dan sah pada setiap generasi. Karena itu, maka NU memandang perlu berkonsultasi dengan kitab-kitab yang dianggap mu’tabar, yang ditulis oleh ulama mazhab empat. Dengan demikian, tradisi bahsul masail NU adalah tradisi mazhabi yang dilestarikan melalui lembaga yang berada di bawah naungan NU, yaitu pesantren.[1]

Secara metodologis, pendekatan mazhabiy dalam lajnah bahsul masail menggunakan tiga macam metode intinbath hukum yang diterapkan secara berjenjang, yaitu pertama, metode qauliy.[2] Dalam metode ini, prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut; bahwa pemilihan qaul/wajh[3] dapat secara langsung menggunakan ‘ibarah kitab apabila hanya ditemukan satu qaul/wajh saja[4], apabila dalam menjawab masalah ditemukan lebih dari satu qaul/wajh maka dilakukan taqrir jama’i[5] yang berfungsi untuk memilih satu qaul/wajh yang lebih maslahat/kuat. Kedua, metode ilhaqiy. Metode ini sebagai upaya menyamakan hukum suatu kasus yang belum dijawab oleh kitab dengan masalah yang sudah ada ketetapannya dalam kitab. Metode ini dalam praktiknya menggunakan prosedur dan persyaratan mirip qiyas. Karena itu, metode ini dapat dikatakan metode qiyas versi NU.[6] Metode ini mempersyaratkan beberapa empat unsur yaitu; mulhaq bih (sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya dalam kitab), mulhaq ‘alaih (sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya dalam kitab), wajh al-ilhaq (faktor keserupaan antara keduanya) dan hukm (hukum). Ketiga, metode manhajiy. Metode ini adalah suatu cara penyelesaian masalah keagamaan dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum (usul fiqh atau qawaid fiqhiyyah) yang disusun imam mazhab.[7] Secara resmi metode ini baru dipopulerkan penggunaannya dalam Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung. Walaupun demikian, metode ini pasca munas tersebut baru dua kali digunakan. Dari ketiga metode di atas, metode qauliy lebih dominan digunakan dibandingkan dua metode yang lain karena hingga saat ini metode tersebut oleh sebagian besar kalangan NU masih dianggap representatif dalam memecahkan masalah keagamaan.

Sedangkan secara material, LBM saat ini dibagi menjadi dua sub-komisi, yaitu bahsul masail ad-diniyyah al-waqi’iyah (aktual) dan bahsul masail ad-diniyyah-maudu’iyah (konseptual). Dan dilihat dari hasil kajiannya, keputusan-keputusan hukum dalam LBM dapat diklasifikasikan pada dua kelompok, yaitu keputusan non-fiqh (bukan masalah hukum praktis) dan keputusan fiqh (masalah hukum praktis).

Dan dalam kelompok fiqh tersebut dibagi ke dalam dua bagian, yaitu fiqh ritual yang bersifat transendental dan fiqh sosial yang memiliki dimensi sosial.[8] Secara tematik, materi bahsul masail mencakup semua persoalan yang dihadapi masyarakat, mulai dari masalah sosial budaya, ekonomi, politik maupun hukum, termasuk hukum keluarga. Berangkat dari persoalan-persoalan tematik tersebut, perlu dikaji secara khusus hasil bahsul masail yang memberikan keputusan tentang problem yang dihadapi oleh perempuan. [9]

[1] Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, hlm. 116

[2] Metode Qauliy adalah suatu cara intinbath hokum yang digunakan ulama dalam LBM dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari mazhab empat, dengan mengacu secara langsung pada bunyi teksnya, atau dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup mazhab tertentu.

[3] Qaul adalah pendapat imam mazhab, sedang wajh adalah pendapat ulama mazhab.

[4] Keputusan Munas Alim Ulama di Bandar Lampung 21-25 Juni 1992.

[5] Taqriri jama’iy adalah upaya secara kolektif untuk menetapkan pilihan terhadap satu diantara beberapa qaul/wajh, dengan urutan berikut; pendapat muttafaq syaikhani (Imam Nawawi dan Imam Rafi’i), pendapat nawawi saja, pendapat ar-Rafi’I saja, mayoritas ulama, ulama yang terpandai dan ulama yang paling wara’.

[6] Perbedaan keduanya adalah qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketentuannya dengan sesuatu yang telah ada ketentuan hukumnya berdasarkan nas al-Qur’an, sedangkan ilhaq adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketentuannya dengan sesuatu yang telah ada ketentuan hukumnya berdasarkan teks kitab mu’tabar.

[7] Mashuri, Masalah Keagamaa, hlm. 364

[8] Ibid., hlm. 67-70.

[9]  Dalam keluarga terdapat dua wilayah yang diperhadapkan yaitu wilayah publik (public role) atau sektor publik (public sphere) dengan wilayah domestik (domestic role) atau sektor domestik (dometic sphere). Istilah pertama biasanya diasumsikan sebagai wilayah aktualisasi diri kaum laki-laki, sementara yang kedua dianggap sebagai dunia kaum perempuan. Sekat budaya ini, menurut kaum feminis, merupakan warisan kultural dari masyarakat primitif yang menempatkan laki-laki sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai peramu (gatherer). Warisan ini selanjutnya diteruskan oleh masyarakat agraris yang menempatkan laki-laki di luar rumah (public sphere) untuk mengelola pertanian dan perempuan di dalam rumah (domestic sphere) untuk mengurus keluarga. Demikian juga, dalam masyarakat modern, sekat budaya tersebut masih cenderung diakomodir, terutaterma dalam sistem kapitalis. Padahal pembagian kerja yang berdasarkan jenis kelamin seperti ini, bukan saja merugikan kaum perempuan itu sendiri [9] namun juga sangat tidak relevan lagi untuk diterapkan di era sains dan teknologi yang serba modern iniSyarif Hidayatullah “ Al-qur’an dan Peran Publik Perempuan “ dalam Gender dan Islam : Teks dan Konteks editor Waryono Abdul Ghafur dan Muh. Isnanto (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga), hlm. 5-7

Asli Mandala Gapura Sumenep Madura Jawa Timur, Koordinator Perukyat Wilayah Madura, Pengabdi di IAIN Madura (dulu STAIN Pamekasan) , Mampir Tidur di Pondok Pesantren Mathali'ul Anwar Pangarangan Sumenep, Pernah Nyantri di Asrama MAPK Jember dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Bersandar di PMII dan NU, Ta'abbud Safari di RAUDHAH Masjid Nabawi dan Manasik Haji Mekkah (2014), Sekarang Nyantri di UIN Walisongo Semarang

Leave Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *