NU sebagai institusi (jam’iyah) sekaligus gerakan dakwah Islam (diniyyah Islamiyah) dan sosial kemasyarakatan (ijtima’iyah), sejak awal berdirinya telah menjadikan faham aswaja sebagai basis berteologi dan mazhab empat sebagai pegangan dalam berfikih.
Perkembangan fiqh dalam bermazhab tergantung pada dua prinsip hermeneutika. Pertama, prinsip singkronik, yakni menegaskan bahwa setiap formulasi hukum harus merujuk pada wahyu sebagai syarat keabsahannya. Kedua, prinsip diakronik, yang mengharuskan pengikut mazhab manapun untuk tetap menjaga loyalitasnya terhadap tradisi, dengan menghargai prestasi yang telah dicapai ulama-ulama pendahulu mereka. Maka keabsahan suatu bentuk atau pemikiran hukum tergantung adanyaa acuan yang merujuk pada kesinambungan dan identitas suatu mazhab fiqh. Dengan demikian, kesinambungan antara ortodoksi dan pola-pola berfikir baru dengan silsilah sebagai jembatan penghubung tetap terjaga, tanpa harus terjadi benturan antara keduanya.[1]
Prinsip kesinambungan sejarah ini juga ditegaskan NU pada muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo, yaitu mendasarkan diri pada “menjaga warisan lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik” (al-muhafazah al al-qadim as-salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah). Sistem bermazhab seperti ini tentu perlu direalisasikan, hanya saja pada realitasnya kata “bermazhab” dalam konteks NU pada umumnya mengacu pada definisi mengikuti rumusan atau ketentuan tekstual (qauly) para ulama mazhab, dan bukan dalam pengertian menggunakan metodologi ulama mazhab. Cara pandang semacam ini sering disebut formalis atau tekstual, dan banyak terjadi dalam tradisi bahsul masail NU termasuk di NU Sumenep.[2]
Dalam pendekatan tekstualistik ini, NU lebih memperhatikan realitas fiqh yang sudah ada. Dalam bingkai pemahaman semacam ini, produk-produk fiqh baik yang berupa aturan formal seperti berbagai transaksi dalam bidang muamalah, maupun bangunan teoritis seperti ijtihad dan maslahat, hampir secara keseluruhan dilekatkan pada dimensinya yang transenden, lepas dari konteks kesejarahan. Pendekatan model ini dianggap monolitik karena wataknya yang membatasi pada yang tertulis, dan kurang memberi elaborasi pada pada tradisi Islam yang hidup (the living islamic tradition). Karena pengertian bermazhab yang sangat sempit ini sehingga tidak jarang NU diklaim sebagai golongan yang bertaklid buta.
Sikap bermazhab secara tekstualistik ini dapat dilihat dari setiap upaya pengambilan hukum yang dilakukan ulama NU, baik di forum bahsul masail maupun di forum-forum lain, yang berorientasi pada pengambilan hukum yang telah dikemukakan oleh para mujtahid (aqwal al-mujtahidin) baik yang terkategori mutlak atau muntasib. Apabila kebetulan ditemukan pendapat yang telah ada nasnya (qaul manshush), maka qaul itulah yang dipegangi, akan tetapi jika tidak ditemukan maka akan beralih ke pendapat hasil takhrij (qaul mukharraj). Sedangkan apabila terdapat perbedaan maka diambil pendapat yang paling kuat sesuai dengan kaidah pentarjihan. Bahkan, ulama NU sering mengambil keputusan “sepakat dalam khilaf”.
Dengan demikian, semakin jelas bahwa metode semacam ini merupakan cermin dari realitas model “ijtihad” ala NU pada umumnya yang masih bertumpu pada semangat tekstualisme dalam memahami wacana keislaman. Dalam konteks ini seringkali muncul kritik (semoga NU tidak anti kritik) bahwa forum bahsul masail NU tidak dinamis, syafi’iyah sentries dan hanya berorientasi pada pernyataan verbal (qaul) ulama bulan metodologinya (manhaj) [3].
Bahkan yang lebih ironi lagi adalah aqwal al-ulama al-mujtahidin yang dijadikan barometer untuk menilai sahih tidaknya suatu pendapat didasarkan pada pendapat asy-Syaikhani yaitu Imam Nawawi dan Imam Rafi’I, baru kemudian pada aqwal ulama mujtahid lainnya.[4] Ini menunjukkan bahwa NU bukan hanya tidak konsisten dalam sistem bermazhab, akan tetapi juga tidak bisa melepaskan diri dari watak tekstualis dalam proses penggalian hukum.[5]
Sebetulnya, jika ulama NU (termasuk NU Sumenep) konsisten dengan rumusan bermazhab (tidak hanya qauly, juga manhaji) yang mengikuti Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali, maka NU akan kaya referensi dan metodologi dalam melakukan penggalian hukum. Mengingat, empat Imam mazhab tersebut memiliki penekanan metode istinbat yang berbeda, Imam Hanafi dikenal sebagai pelopor rasionalisme dengan metode istihsan-nya, Imam Malik dikenal sebagai pencetus teori maslahah mursalah, Imam Syafi’I dikenal dengan teori qiyas-nya di samping istishhab, dan Imam Hambali lebih cenderung mempersempit gerak akal, sedikit menggunakan qiyas, mempertahankan fungsi hadis dalam semua tingkatan, memakai ijma’ sahabat dan menentang adapt atau tradisi sebagai dasar penentuan hukum Islam.
Dengan demikian, memandang bermazhab hanya secara tekstual, tidak hanya jauh dari semangat dan watak berfiqh yang terapkan para ulama (fuqaha’) klasik, akan tetapi berlawanan dengan dinamika sejarah pemikiran Islam Klasik, yang sangat menghargai kerja-kerja ilmiah berupa eksplorasi intelektual guna menghasilkan pendapat hukum yang berkualitas.[6]
Disinilah perlunya reformasi system bermazhab dan berfiqh dalam tradisi NU. Reformasi semacan ini sudah diserukan oleh beberapa Kyai NU, seperti Kyai Muchit Muzadi, Kyai Ali Yafi, Kyai Sahal Mahfudh, Masdar F Mas’udi. Belum lagi sejumlah intelektual NU seperti Abdurrahman Wahid, Ali Haidar, A. Qadri Azizy, Machasin, Malik Madani, dan lain-lain. Akan tetapi tampaknya, sebagian besar Kyai di lingkungan NU, apalagi di Sumenep, belum menyadari makna pentingya berfiqh secara kontekstual dan metodologis.
[1] Prinsip tersebut tentu saja berbeda dengan kalangan yang menolak system bermazhab. Jika pada kelompok mazhab menjaga kesinambungan sejarah, maka kubu anti mazhab tidak mementingkan adanya prinsip ini, dan cenderung memutus kesejarahan (unhistorical continuity).
[2] Metode pengambilan hukum bahsul masail Nahdlatul Ulama Sumenep yang berkaitan dengan problem perempuan-sebagaimana temuan hasil penelitian ini-menggunakan metode qauliy yang dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, ibarah kitab apabila hanya ada satu qaul/wajah dan kedua, taqrir jama’iy apabila terdapat lebih dari satu qaul/wajah, yang berfungsi untuk memilih salah satu qaul atau wajah.
[3] Usul Fiqh merupakan disiplin ilmu yang sangat sulit dan syarat dengan pemikiran rasional sehingga banyak Kyai yang “enggan” mendalami ilmu tersebut, meskipun barangkali ulama NU menganggap kedudukan usul fiqh sangat vital dalam pengembangan pemikiran fiqh, akan tetapi realitasnya sangat sulit dipraktikkan. Dan tercatat bahwa orang pesantren pertama yang menguasai usul fiqh adalah Kyai Mahfudz Termas (w.1919).
[4] Keputusan ini sudah ada sejak muktamar ke I tahun 1926. Kemudian ditegaskan kembali (dengan sedikit modifikasi) pada Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992.
[5] Di balik realitas di atas, sebetulnya para ulama NU juga memegangi dan mempelajari metodologi (manhaj) Imam Syafi’i. Asumsi dapat diperkuat dengan banyaknya kitab-kitab usul fiqh yang ditemukan dalam perpustakaan dan kurikulum pesantren. Diantara kitab-kitab usul yang dipelajari di pesantren adalah kitab al-Luma’, al-Waraqat, Hujjah al-Wushul, Gayah al-Usul fi ‘Ilm al-Usul, Jam’u al-Jawami’, al-Mustasyafa, al-Ashbah wa an-Nadha’ir, Qawaid Ibn Abd Salam dan lain-lain. Fakta bahwa kitab-kitab usul fiqh diajarkan di pesantren memang tidak bisa dinafikan walaupun termasuk fenomena yang relatif baru, hanya saja persoalannya sejauhmana optimalisasi usul fiqh digunakan dalam proses istinbath hukum, khususnya dalam tradisi bahsul masail.
[6] Ulama Klasik menjunjung tinggi independensi pemikiran. Mereka seolah-olah berlomba-lomba menulis kitab fiqh dan usulnya untuk menunjukkan eksistentensi dan independensi pemikiran mereka.