Problematika penentuan awal bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah, yang dijadikan pedoman umat Islam dalam penentuan ibadah, menjadi problem klasik, akan tetapi selalu aktual. Terkategori klasik karena -secara historis- sejak zaman permulaan Islam, dan masa perkembangan Islam selanjutnya para sahabat, tabi’in, ulama dan pakar hukum Islam selalu menjadikan ketiga awal bulan tersebut sebagai pembahasan dalam penetapannya sampai sekarang. Demikian pula problem tersebut menjadi wacana aktual karena berbagai para pakar dari berbagai disiplin ilmu baik ahli hisab-rukyat, astronomi dan ahli lainnya mengkaji dan membicarakan penentuan ketiga awal bulan tersebut sekaligus mencari upaya penyatuannya. Namun demikian, problem tersebut semakin dikaji semakin banyak pula muncul perbedaannya. Pertanyaannya adalah dimanakah peran pesantren, di tengah sebuah anggapan bahwa para ulama pesantren mewarnai dinamika perkembangan ilmu falak di Indonesia? Dengan penelusuran secara dekriptis analitis-historis-antropologis, tulisan ini mengakategorikan perkembangan keilmuan falak pondok pesantren ini sebagai sebuah sistem berpikir atau kelompok pemikir yang berkecimpung dalam hukum (school of law) yang harus ditelusuri lebih mendalam untuk dapat mengungkap perkembangan pemikiran hisab-rukyat di Indonesia secara geneologis, dan merekomendasikannya akan keniscayaan pengembangan keilmuan falak di Pesantren baik secara fiqhiyah-teoritis maupun aplikatif-praktisnya sehingga peran dan kontribusi pesantren akan terungkap secara sistematis, pertama, dari Pesantren untuk akurasi hisab-rukyat di Nusantara, dan kedua, dari Pesantren untuk penyatuan kalender hijriyah Internasional.