Problem sahnya perkawinan dengan tegas diatur dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 UUP.[1] Pada hakikatnya kedua ayat dalam pasal tersebut bermakna satu, yakni sahnya perkawinan adalah dicatatkan. Dengan demikian, perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah menurut negara. Pengertian ini yang menjadi pegangan di kalangan para hakim di pengadilan. Akan tetapi, masyarakat umumnya memahami perkawinan adalah sah kalau sudah dilakukan berdasarkan hukum agama meskipun tidak dicatatkan. Komunitas Islam yang mayoritas menganut madzhab syafi’i, misalnya, meyakini syarat sahnya perkawinan apabila tersedia lima unsur, yaitu adanya kedua mempelai, ijab qabul, saksi, wali dan mahar. Pencatatan bukan merupakan syarat sahnya perkawinan. Karena itu, di masyarakat banyak dijumpai perkawinan yang tidak tercatatkan, seperti kawin siri atau kawin bawah tangan.[2]
Padahal meskipun secara agama atau adat istiadat, perkawinan yang tidak tercatat adalah sah, di mata hukum ia tidak memiliki kekuatan hukum. Perkawinan yanag tidak tercatatkan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan pada umumnya. Bagi istri, dampaknya secara hukum adalah dia tidak akan dianggap sebagai istri yang sah karena tidak memiliki akta nikah sebagai bukti hukum yang autentik. Akibat lanjutannya, istri tidak berhak atas nafkah dan warisan suami yang meninggal dunia. Juga, istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Dampaknya terhadap anak juga tidak kalah beratnya. Status anak yang dilahirkan pun akan dianggap sebagai anak tidak sah. Akta kelahirannya hanya berupa akta pengakuan, misalnya dicantumkan anak luar nikah atau anak yang lahir dari ibu dan diakui oleh seorang bapak. Konsekwensinya, dalam perkawinan yang tidak tercatatkan ini, anak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayah. Tentu saja pencantuman anak luar nikah akan berdampak buruk secara sosial dan psykologis bagi si anak dan ibunya. Ketidakjelasan status anak di muka hukum mengakibatkan anak tidak berhak atas nafkah, warisan, biaya hidup, dan pendidikan dari ayahnya. Demikian juga bagi perempuan (istri), perempuan yang melakukan perkawinan di bawah tangan akan sulit bersosialisasi karena dianggap sebagai istri simpanan atau hubungan kumpul kebo.
Persoalan perkawinan tidak hanya muncul dalam hal pencatatan perkawinan, akan tetapi juga menyangkut persoalan fasakh, khulu’, cerai dan talak. Dalam konteks negara, yang pertama menjadi tugas Depag (KUA), sedangkan yang kedua menjadi wewenang PA. Dalam konteks problem kedua inilah perempuan tidak memiliki kekuatan untuk melawan perlakuan kesewenang-wenangan suami sehingga apabila fasakh, khulu’, cerai dan talak tidak diajukan ke pengadilan, maka semakin jelas bahwa perempuan dalam posisi yang tertindas dan inferior.[3] Karena itu, pengajuan perkara tersebut ke pengadilan tidak hanya sebatas pemenuhan administrasi, akan tetapi sebagai upaya melakukan tindakan perlindungan terhadap perempuan dan menposisikan perempuan dalam kesetaraan, karena pada dasarnya Islam bermaksud memberikan status yang sejajar bagi wanita, tidak hanya dalam menentukan pilihan, akan tetapi juga ketika terjadi ketidakcocokan yang tidak bisa lagi direkonsiliasi (islah)[4] antara keduanya. Islam merupakan agama pertama di dunia yang mengakui adanya hak cerai dari istri (khulu’).[5] Hak ini memungkinkan seorang istri mengajukan khulu’ dan memutuskan hubungan perkawinannya karena adanya cacat fisik pada suaminya (misalnya perlakuan buruk dan kasar, berbuat serong, pemabuk) atau hilangnya keberadaan suaminya (suami mafqud[6]) dan sebagainya. Selain itu, jika suami tidak mampu memenuhi kewajibannya seperti memberikan tempat tinggal dan nafkah, maka istri dapat menggunakan haknya untuk khulu’.[7] Dalam hal ini, yang diperlukan istri mengajukannya ke pengadilan sebagai lembaga resmi negara yang dapat dimintai perlindungan. Bahkan dengan terlegitimasinya sighat ta’liq, terbukalah pintu yang luas bagi istri—kalau tidak ada ketidak cocokan—ia boleh menuntut pembatalan nikah, mengadu dengan membayar uang khulu’, maka dengan sendirinya jatuh talak. Khulu’ adalah jalan keluar bagi istri yang tidak menyukai suaminya dengan alasan selain yang bisa melahirkan fasakh, istri membayar semacam ganti rugi atas pemberian suami. Sehingga akibatnya suami tidak bisa rujuk tanpa persetujuan dan kesediaan istri. Dengan adanya kesejajaran ini, khususnya dalam wewenang memiliki hak dalam perceraian, yang sebelumnya seringkali disalahgunakan oleh pihak yang lebih kuat (dominasi laki-laki atas perempuan) yang menganggap perempuan hanyalah mahluk reproduksi belaka, kini kelompok laki-laki tidak lagi boleh atau bisa sewenang-wenang dalam menggunakan hak dan kewajibannya.
[1] Undang-undang perkawinan pasal 2 ayat (1) menyebutkan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Sementara ayat (2) menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
[2] Agar praktik kawin sirri ini tidak tetap terjadi di masyarakat, redaksi undang-undang kedua ayat dalam pasal tersebut harus dirubah dan hendaknya digabung menjadi satu sehingga berbunyi seperti berikut : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya disertakan sanksi yang ketat bagi yang melanggar dan sanksi itu betul-betul dilaksanakan sehingga efektif menghalangi munculnya kasus-kasus perkawinan bawah tangan (yang jelas-jelas merugikan perempuan). Alternatif lain yang dapat ditawarkan adalah dengan memasukkan pencatatan perkawinan sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan dan negara berkewajiban mencatatkan semua perkawinan yang terjadi. Ini sesuai analogi atas ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan transaksi penting seperti utang-piutang hendaknya selalu dicatatkan. Perkawinan sejatinya merupakan transaksi yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada transaksi lainnya dalam kehidupan manusia. Kalau sudah transaksi harus dicatat, bukankah transaksi perkawinan merupakan hal yang lebih krusial untuk dicatatkan.
[3] Praktik yang berlangsung di Masyarakat selama ini cenderung merendahkan posisi perempuan dengan memberlakukan aturan perceraian sewenang-wenang yang merugikan kepentingan perempuan. Istri menjadi tergantung kepada kekuasaan suaminya dalam hal perceraian, sebagaimana yang terjadi pada zaman jahiliyah seperti menjatuhkan talak tiga sekaligus walau diucapkan dalam keadaan bercanda, marah atau mabuk dan wanita yang ditalak tidak boleh dirujuk walau suami menyadari dan menyesali pengucapannya.
[4] Islah adalah kesepakatan dua pihak (suami dan istri) untuk melakukan penyelesaian perselisihan atau pertikaian dengan jalan baik dan damai. Konsep ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 228 dan an-Nisa’ 35.
[5] Hak istri untuk khulu’ adalah mutlak dan tidak seorangpun yang dapat menghalanginya. Sebagai contoh, kasus Jamilah istri Tsabit bin Qais. Jamilah sangat tidak puas dengan perkawinannya walaupun tidak ada perselisihan antara mereka. Kemudian disampaikan kepada Rasul Saw, lalu beliau mengizinkannya bercerai. Bukhari, Sahih Bukhari, jilid III, hlm. 60.
[6] Adanya keputusan fiqh tentang tidak adanya batasan waktu menunggu bagi istri yang suaminya tidak diketemukan kabar beritanya (mafqud) merupakan sikap fiqh yang tidak mencerminkan kesetaraan gender antar hak dan kewajiban suami istri. Bolehnya kawin lagi dengan lelaki lain dengan syarat yang amat sulit terpenuhi sehabis menjalani ‘iddah wafat setelah berasumsi kuat terhadap kematian si suami dengan jalan menerima kabar dari orang adil atau yang dia percaya (meskipun hanya satu orang), penetapan/putusan hakim dengan persaksian dua orang, usia si suami sampai pada batas usia dimana orang-orang yang se usia/sebaya dengannya telah meninggal dunia, informasi kematian si suami termasuk dalam kategori berita istifadah (tersebar merata ke semua orang,) atau informasi kematian si suami tergolong khabar tawatur semakin menunjukkan betapa tersiksanya jadi perempuan, sementara jika istrinya yang hilang, si suami bisa kapan saja menikah tanpa syarat berkabung dan menjalani iddah.
[7] Ali Asghar Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajdi dan Cici Farkha Assegaf (Jakarta; LSPPA, 1994), hlm. 199-200.