Agama Islam memilki tempat yang paling mulya, ia disebut dengan Ka’bah. Secara historis, Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim AS bersama putranya Nabi Ismail AS. Bangsa Arab umumnya menghormati tempat suci ini. Setiap tahun pada bulan bulan haji bangsa Arab dari segala penjuru datang berkunjung ke Mekkah sebagai suatu kewajiban agama. Bahkan, ketika dilahirkan, Nabi Muhammad SAW dibawa oleh kakeknya Abdul Muttahalib ke kaki Ka’bah, dan di tempat suci inilah bayi itu diberi nama Muhammad.[1] Keberadaan ka’bah pada mulanya berada dalam kekuasaan suku Quraisy. Mereka betul-betul bangga dengan ka’bah dan menghambakan diri untuk mengurusnya dan para tamu yang datang. Mereka menyimpan berhala-berhala di sekitar ka’bah dan menjadikan ka’bah sebagai pusat kegiatan ritual. Menurut mereka, berhala-berhala tersebut merupakan teman-teman Tuhan.[2]
Seiring dengan datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dan diwajibkannya shalat bagi pemeluk agama Islam tidak secara sekaligus disertai dengan kewajiban menghadap kiblat. Karena itu Nabi Muhammad Saw (sebagai mujtahid) melakukan kewajiban salat dengan menghadap ke Baitul Maqdis di Yerussalem, Palestina. Ini dilakukan beliau mengingat Baitul Maqdis pada waktu itu dianggap paling istimewa sedangkan ka’bah masih dikelilingi oleh berhala-berhala. Meskipun demikian, apabila beliau berada di Mekkah pada saat yang sama juga selalu menghadap ke Ka’bah.[3] Dengan berjalannya waktu pada sekitar 16 atau 17 bulan pasca hijrah ke Madinah, ketika turun firman Allah yang memerintahkan untuk berpaling ke ka’bah.[4]
Dalam konteks di atas, terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, pertama, apakah yang dimaksud dengan al-Masjid al-Haram, dan kedua, manakah yang wajib; antara menghadap ke ‘ainul Ka’bah (bangunan Ka’bah itu sendiri) atau menghadap ke arahnya. Tulisan ini tidak akan mengeksplorasi perbedaan makna dan hukum tersebut, namun hanya memfokuskan pada masalah kedua, yaitu bagaimana mengukur dan menghadap ke arah kiblat. Problemnya kemudian adalah bagaimana arah kiblat ini diukur dan ditentukan secara akurat di bumi nusantara?
Secara historis cara penentuan arah kiblat di Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan kualitas dan kapasitas intelektual kalangan kaum muslimin. Perkembangan penentuan arah kiblat ini dapat dilihat dari perubahan besar di masa K.H. Ahmad Dahlan atau dapat dilihat pula dari alat-alat yang dipergunakan untuk mengukurnya, seperti miqyas, tongkat istiwa’, rubu’ mujayyab, kompas dan theodolit. Selain itu, sistem perhitungan yang dipergunakan mengalami perkembangan pula, baik mengenai data koordinat maupun mengenai sistem ilmu ukurnya. Perkembangan penentuan arah kiblat ini dialami oleh kaum muslimin secara antagonistis, artinya suatu kelompok telah mengalami kemajuan jauh ke depan sementara kelompok lainnya masih mempergunakan sistem yang dianggap sudah ketinggalan zaman. Realitas empiris semacam ini disebabkan beberapa faktor, antara lain : tingkat pengetahuan kaum muslimin yang beragam, sikap tertutup dan “ketegangan teologis“ (meminjam istilah Azyumardi Azra) sehingga suasana dialogis dan kooperatif kian terlupakan.[5]
Adapun metode yang sering digunakan dalam pengukuran arah kiblat ada dua macam, yakni memanfaatkan bayang-bayang kiblat dan memanfaatkan arah utara geografis (truenorth). Bila menggunakan metode bayang-bayang kiblat, maka langkah-langkah yang perlu ditempuh, yaitu (a) menghitung arah kiblat suatu tempat; (b) menghitung saat kapan matahari membuat bayang-bayang setiap benda (tegak) mengarah persis ke Ka’bah dan (c) mengamati bayang-bayang benda tegak pada saat seperti dimaksud poin (b). Kemudian mengabadikan bayang-bayang tersebut sebagai arah kiblat. Adapun jika menggunakan metode memanfaatkan arah geografis, langkah-langkah yang perlu ditempuh, yaitu (a) menghitung arah kiblat suatu tempat; (b) menentukan arah utara geografis (true north ) dengan bantuan kompas, tongkat istiwa’ atau theodolit dan (c) mengukur/menarik arah kiblat berdasarkan arah geografis seperti dimaksud pada poin (b) dengan menggunakan busur derajat, rubu’, segitiga atau theodolit.
Seiring berkembangnya teknologi dan informasi, berkembang pula inovasi dalam memodifikasi instrumen astronomi yang telah ada. Salah satu diantaranya adalah modifikasi sundial dan tongkat istiwa’. Sundial atau jam matahari dengan berbagai bentuknya, pada awalnya hanya dapat digunakan untuk menentukan waktu saja. Namun lambat laun dikonstruksi lagi menjadi alat-alat lain dengan fungsi yang lebih lengkap bahkan yang berbeda dari sebelumnya. Diantaranya alat hasil modifikasi sundial adalah Mizwala Qibla Finder dan Istiwaaini yang digunakan untuk menentukan arah kiblat. Lalu bagaimana penggunaan keduanya?
[1] Susiknan Azhari, Ilmu Falak: Teori dan Praktek, (Yogyakarta;Lazuardi, 2001), h. 51
[2] Ibid, h. 53
[3] Departemen Agama RI, Pedoman Penentuan Arah Kiblat, (Jakarta; Dirjen Bimbaga,1994-1995), h. 60
[4] Surat al-Baqarah;150: “Dan darimana saja kamuu keluar (datang) maka palingkanlah wajahmu ke arah masjidil haram..”.
[5] Suksiknan Azhari, Ilmu Falak.., h. 44