Masyarakat arab pra-Islam pernah menerapkan apa yang dikenal dengan ‘iddah dan ihdad. Term ini dimaksudkan dengan suatu kondisi dimana kaum perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya bahkan juga oleh anggota keluarga yang lain, harus mengisolir diri di ruang terpisah selama setahun penuh.[1] Dalam pengasingan itu, perempuan tersebut tidak diperkenankan untuk memakai wewangian, memotong kuku, menyisir rambut, dan berganti pakaian. Perempuan akan diberi seekor binatang seperti keledai, kambing atau burung untuk dipakai menggosok kulitnya. Tradisi semacam ini tidak berlaku bagi laki-laki.
Islam datang dengan mengupayakan adanya pengurangan waktu berkabung bagi seorang istri, dan ini dilakukan tidak dengan cara-cara yang merendahkan atau menistakan perempuan. Dengan pertimbangan etis-moral, disyari’atkannlah ketentuan tentang ‘iddah.[2] Secara kategorial, perempuan yang ber’iddah (al-mu’taddah) dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Pertama, perempuan yang ber’iddah karena ditinggal mati oleh suaminya. Ketentuan masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari dengan catatan tidak hamil baik pernah duhul atau tidak dan sampai melahirkan jika kehamilannya dinisbatkan kepada shahibul ‘iddah. Kedua, perempuan yang ber’iddah bukan karena ditinggal mati oleh suaminya. Ketentuan masa ber’iddahnya adalah sampai melahirkan jika kehamilannya dinisbatkan kepada shahibul ‘iddah, tiga kali quru’ jika ia pernah menstruasi dan tiga bulan apabila belum sudah putus dari periode haid. Dari kedua kategori tersebut, yang menarik untuk dikaji adalah fungsi ‘iddah bagi perempuan yaitu terdapat tiga fungsi, yaitu membersihkan rahim (bara ah ar-rahim), pengabdian diri kepada Allah Swt (ta’abbud) dan bela sungkawa atas kematian suami (tafajju’). Akan tetapi yang jelas kewajiban ber’iddah tersebut hanya dikenakan kepada perempuan tidak pada laki-laki.[3] Teori dan praktik ‘iddah di masyarakat memunculkan social ethics bagi perempuan. Munculnya etika sosial inilah yang perlu dicermati.
Bagi perempuan yang menjalani masa ‘iddah harus memperhatikan beberapa etika sosial masyarakat, diantaranya yaitu pertama perempuan tidak boleh menerima pinangan laki-laki lain dan mengadakan akad perkawinan baik secara terang-terangan maupun secara sindiran (kecuali bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya boleh dipinang dengan cara sindiran). Kedua, perempuan dilarang keluar rumah kecuali ada keperluan secara mendesak seperti memenuhi kebutuhannya sehari-hari.[4] Namun demikian, larangan ke luar rumah bagi yang ber’iddah ini tidak berlaku bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Ia boleh ber’iddah di tempat mana saja yang disukai karena kewajiban menempati tempat tinggal yang terdapat dalam al-qur’an hanya berlaku bagi perempuan muthallaqah. Ketiga, harus berkabung. Proses berkabung ini dilakukan dalam jangka waktu tiga hari bagi perempuan yang ditalak oleh suaminya dan bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya harus menjalaninya selama empat bulan sepuluh hari.
Dalam konsep fiqh, berkabung hanya berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya, dan tidak berlaku sebaliknya. Namun demikian, etika sosial masyarakat tersebut seharusnya tidak dalam rangka mengikat dan membelenggu kebebasan perempuan, akan tetapi untuk melindungi dan menjaga hak-hak perempuan seperti memperjelas status genetika yang diembannya dan memberi kesempatan seluas-luasnya untuk segera kembali menjadi suami-istri dengan cara yang baik (ma’ruf). Karena itu, dalam menjalani ‘iddah bagi seorang perempuan yang patut menjadi pertimbangan adalah bukan persoalan layak atau tidaknya tempat tinggal selama ‘iddah, akan tetapi sejauhmana sebab, akibat dan fungsi ‘iddah dipahami dalam rangka memenuhi kewajiban dan hak-haknya bersama suaminya.
[1] Syah Waliyullah ad-Dahlawi, Hujjah Allah al-Balighah, (Beirut: Dar Ihya’ al-Ulum, tt), II:377.
[2] ‘Iddah adalah suatu masa menunggu bagi seorang perempuan yang baru berpisah dari suaminya baik karena perceraian atau kematian untuk tidak menikah lagi sebelum melalui beberapa waktu tertentu.
[3] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damaskus, Dar al-Fikr, 1996), VII:626
[4] Dalam konteks di atas, terdapat perbedaan antara Imam Malik dan asy-Syafi’i. Bagi Imam Malik, larangan keluar rumah adala mutlah antara talak raj’i dan bain, sedangkan bagi Imam Syafi’i, larangan keluar rumah hanya bagi talak raj’i baik siang mapun malam. Lihat al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, XIII: 154-155.