Anggapan bahwa jodoh di tangan Tuhan merupakan suatu anggapan yang tidak asing. Dalam masyarakat kita, bahwa jodoh bagi anak pria merupakan urusan Tuhan, sedang untuk wanita menjadi urusan orang tua. Di masyarakat pedesaan, seorang gadis yang akan dikawinkan belum mengenal siapa calon pendampingnya sebab keyakinan yang telah menjadi lumrah bahwa orang tualah yang menentukan secara sepihak calon suami anak gadisnya. Dalam istilah fiqh, hak orang tua ini adalah hak ijbar.[1] Pertimbangan ini dapat dilihat dalam penetapan bahsul masail khususnya tentang penentuan wali mujbir.
Orang tua mana yang tidak menginginkan kebahagiaan anak yang telah dikandung, dilahirkan dan diasuhnya dengan susah payah serta disayangi sejak dalam kandungan dan dibesarkannya. Keikutsertaan orang tua dalam memilih jodoh bagi anaknya tidak dapat dipermasalahkan atau disalahkan. Karena itu, menjadi wajar apabila orang tua mereka ikut menentukan pilihan bagi anak-anaknya. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah bahwa hak ijbar itu hanya bisa dilakukan terhadap anak gadis yang belum cukup dewasa. Bahkan dalam realitasnya, kaum wanita masa lalu tidak dapat disamakan dengan wanita masa sekarang, baik dari segi pendidikan, pengalaman, pergaulan dan kondisi lingkungan, sehingga tidak semua wanita gadis dapat dipaksa jodohnya oleh walinya. Karena itu, syarat-syarat hak ijbar bagi wali sebagaimana dipahami masyarakat perlu dikaji ulang.
Pada hakekatnya, secara normatif, pria ataupun wanita mempunyai hak yang sama dalam pemilihan jodoh untuk menentukan siapa yang akan menjadi pendampingnya di masa depan, demi keharmonisan, kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan berkeluarga. Ajaran Islam memberi tuntunan dalam menentukan pilihan. Dalam kehidupan sekarang, hak ijbar ini sebagaimana dipersepsi masyarakat tidak lagi dapat dipertahankan apalagi hal ini bertentangan dengan prinsip kemerdekaan dalam pemilihan jodoh sebagaimana dilakukan oleh Nabi Saw.[2] Hak dan kewajiban memilih jodoh bagi pria dan wanita dalam menentukan pilihannya adalah sama (yang disebut kufu’[3]) agar diperolah kemudahan dalam menciptakan kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.[4]
Konteks di atas dapat dijadikan dasar dalam penentuan wali dalam nikah jika orang tuanya tidak dapat menjadi wali. Karena itu, dalam penentuan wali dalam nikah tersebut, yang patut dipertimbangkan bukan semata-mata hanya sah atau tidaknya suatu perkawinan (sebagaimana keputusan bahsul masail tentang wali nikah), akan tetapi dapat tidaknya kemaslahatan kehidupan keluarga diwujudkan baik oleh anak gadis ataupun janda. Dengan demikian, hak anak dalam menentukan jodoh dan menjalankan kehidupan rumah tangganya dapat terpenuhi dan tidak terdistorsi oleh kesewenang-wenangan orang lain termasuk orang tuanya sendiri.
[1] Dalam ulama mazhab empat, hanya Imam Syafi’I yang mengakui adanya hak ijbar bagi anak gadisnya, namun demikian hak tersebut hanya bisa dilakukan oleh ayah dan atau kakeknya terhadap anak gadisnya yang belum cukup dewasa, yang didasarkan pada rasa kasih sayang dengan calon suaminya yang kufu’ dan dari nasab orang baik.
[2] Kemerdekaan dalam memilih jodoh telah ditegaskan oleh Rasulullah Saw. ketika beliau didatangi seorang gadis sambil mengadukan tentang ayahnya yang telah mengadukan tentang ayahnya yang telah memaksanya untuk kawin dengan seorang yang tidak ia senangi. Rasulullah memutuskan agar urusan perkawinan tersebut dikembalikan kepada anak gadis itu untuk memilih. Lihat Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid I, hlm 603.
[3] Kufu’ adalah seimbang atau sejajar. Konsep ini mengisyaratkan adanya hak dan kewajiban yang sama dalam memilih dan menentukan jodoh (suami atau istri) baik bagi pria maupun wanita. Lihat penegasan Nabi Saw “pilihlah kalian semua untuk nutfahmu dan kawinlah dengan orang yang kufu’, Ibid., hlm. 633.
[4] Nabi Saw menegaskan bahwa pemilihan jodoh bagi wanita gadis ataupun janda memiliki wewenang yang sama walaupun dinyatakan dengan cara yang berbeda seperti “Wanita janda lebih berhak atas dirinya dari pada ayahnya, sedangkan anak gadis harus didengar persetujuannya dan diamnya adalah persetujuannya”. Dengan demikian, baik bagi gadis ataupun janda dapat menolak calon suami pilihan orang tuanya jika tidak disenanginya. Lihat Muslim, Sahih Muslim, Jilid I, hlm. 586.